Entri Populer

Kamis, 21 Juli 2011

PUTRI BATAK

SAMOSIR

KOMUNITAS MARGA

LEGENDA POHON NIRA

LEGENDA POHON NIRA


Pohon Nira ( Mayang Enau ) yang banyak tumbuh di daerah tanah batak, bukanlah merupakan tanaman atau tumbuhan yang tumbuh begitu saja di berbagai tempat namun menurut sejarah atau legenda manang turi – turian , bahwa pohon nira ( mayang enau )atau di tanah batak disebut dengan nama “ Pakko”/Bagot” adalah memiliki cerita tentang perjodohan bagi masyarakat suku batak pada jaman dahulu kala yang tidak mengenal satu sama lain antara muda – mudi yang akan di pertunangkan.
Pohon Nira / Mayang Enau atau “ Pakko/Bagot “ ini dapat menghasilkan yang namanya “ Nira “( tuak )hasil sadapan, ijuk untuk atap rumah, tali dan lain – lain, Sagu bagian empuk/lunak dari dalam batangnya, lidi dari daunya, batangnya dibuat menjadi penyangga rumah adat batak disebut dengan “ Rassang – rassang “, dan memang begitu banyak mamfaat dan kegunaan dari pohon ini.
Menurut legenda atau sejarah turi – turian dalam masyarakat suku batak bahwa awal mula tumbuhnya mayang enau/pakko/bagot ini adalah sebagai berikut.
Pada jaman dahulu kala bagi masyarakat suku batak dalam pembentukan mahligai rumah tangga yang baru, masih didominasi dengan istilah perjodohan atau dijodohkan antara silaki – laki dengan si perempuan oleh kedua orangtua belah pihak atau oleh keluarga lainnya, apalagi masih memiliki tali persaudaraan atau kelompok keluarga.
Demikian juga halnya yang terjadi dalam keluarga Siraja Enda-enda dengan tunangannya Siboru Sobarjadi, Siraja Enda – enda adalah manusia yang tidak sempurna artinya ia menyerupai binatang “ Kadal “ (Ilik dalam suku batak )memiliki kaki empat badan besar dan matanya besar dan tinggal di bumi atau benua tonga, sedangkan calon istrinya yang bernama Siboru Sobarjadi adalah seorang putri kerajaan kayangan yang tinggal di awang – awang atau banua ginjang.
Setelah Siboru Sobarjadi sudah dewasa maka ia memohon kepada ayahandanya bernama “ Batara Guru” agar dapat diberangkatkan ia untuk menjumpai tunangannya Siraja Enda – enda ke bumi ( banua tonga ), maka disuruhnyalah abangnya ( ibotona )yang bernama “ Datu Tantan Debata “ untuk mengantarkan Siboru Sobarjadi untuk menjumpai Siraja Enda-enda di bumi.
Maka berangkalah Siboru Sobarjadi menuju rumah Siraja Enda-enda di bumi, sebelum memasuki rumah ia pun memanggil – manggil dengan mengatakan, “ Leang –leang mandi tambolungkon au jolo, baoa pangoli tailihon ma ahu jolo.”ujarnya dari luar rumah (yang artinya : Anak laki – laki calon pengantin, saya sudah datang, tolonglah lihat saya ).Ternyata Siraja Enda-enda telah mendengar suara teriakan itu dan iapun menjawabnya dari dalam rumah dengan mengatakan,” Jang ma jajangi, jang ma jajangon, padoras ma sian I, pajonok ma tu lambungkon “sambutnya dari dalam rumah (yang artinya : menyuruh Siboru Sobarjadi agar secepatnya masuk ke rumah ).Namun Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumahnya karena memiliki tangga menuju kerumahnya sangat tajam seperti pisau tajam.
Karena Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda iapun mengadukan hal ini kepada abangnya yang bernama “ Tantan Debata “ dan ia memohon agar abangnya dapat memberikan pertahanan/kekebalan agar ia bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda. Sehingga ia pun bisa memasuki rumahnya.
Setelah Siboru Sobarjadi tiba di dalam rumah Siraja Enda-enda, alangkah terkejutnya ia melihat Siraja Enda-enda karena ternyata Siraja Enda-enda bukanlah manusia sempurna, ia adalah julukan manusia ilik (kadal )/Siraja Ilik yang berkaki empat, matanya besar memiliki ekor, sehingga Siboru Sobarjadi mengurungkan niatnya untuk memiliki Siraja Enda-enda/Siraja Ilik menjadi suaminya, dan iapun berkata demikian “ tumagonanna ma ahu mate unang mangolu, ianggo tung muli tu Siraja Enda-enda,” ujarnya ( yang artinya : lebih baiklah saya mati dari pada menikah dengan Siraja Enda-enda).
Akhirnya Siboru Sobarjadi pun memberitahukan hal ini kepada abangnya (ibotona ) dan ia pun memohon agar dilaksanakan gondang sabangunan ( membunyikan Uning uningan ) untuk melampiaskan rasa kekesalannya, maka dilaksanakanlah gondang sabangunan tersebut dan Siboru Sobarjadi pun menari narilah sejadi jadinya seperti orang kesurupan, terlempar kesana – kemari, sehingga tampa disadari melompatlah Siboru Sobarjadi ketengah tengah halam rumah dan iapun tenggelam dan tertanam kedalam tanah.
Dan pada sore harinya telah tumbuh pohon di tengah – tengah perkampungan itu, tulang – tulangnya menjadi batangnya (pakkona), perutnya menjadi unokna (bagian lunak di dalam batangnya, bahan untuk membuat sagu), kain atau bajunya menjadi bangkarna (bagian kulit luar dari batangnya), rambutnya menjadi ijuk, tangannya menjadi hodongnya (dahannya), jari-jari tangannya menjadi lidinya (lili), air matanya menjadi tuak ni bagot ( nira ), dan pohon inilah yang dinamai “Pakko”/bagot/mayang enau (pohon nira ) yang menghasilkan nira (tuak ) saat ini.
Tuak adalah nira yang beragi dan sejenis minuman keras sebagai minuman khas suku batak, nira (tuak) disadap dari mayang enau/pakko/bagot kemudian nira ini dicampur dengan ragi atau kulit kayu yang dinamai “Raru”, sehingga menjadi nira / tuak yang mengandung alkohol, dalam suku batak disebut dengan “ Tuak Tangkasan “dan dalam peribahasa/pantun suku batak mengatakan :”
Tangkas ma uju purba,
Tangkasan ma uju angkola.
Tangkas ma namaduma,
Tangkasan ma na mamora…….
E M M A T U T U……............
(dari berbagai sumber/ by : Erlin Hasibuan ).

Sabtu, 26 Maret 2011

SIRAJA LONTUNG DAN SIRAJA BORBOR

SIRAJA LONTUNG DAN SIRAJA BORBOR





Setelah beberapa tahun lamanya Sariburaja dan Siboru Pareme bersama dalam pembuangan di daerah hutan Sabulan maka lahirlah anaknya dan diberi nama “ Siraja Altong “, di tempat mereka tinggal ada juga salah satu binatang yang bernama “ Gompul “ untuk menemani mereka dan Gompul inilah yang selalu membawa makanan seperti situak ni altong ( madu ) yang diberikannya kepada Siboru Pareme, di kemudian hari si Raja Altong sering juga dinamai dengan Siraja Lontung hingga saat ini.
Pada suatu hari Sariburaja merenung dan memikirkan hubungannnya dengan Siboru Pareme yang tidak mungkin akan terus hidup bersama karena mereka masih bersaudara ( kakak beradik/marito ) sehingga Sariburaja memutuskan untuk pergi meninggalkan Siboru Pareme bersama anaknya dan binatang yang selalu mengantar makanan kepada Siboru Pareme.
Niat sudah bulat untuk pergi tampa tujuan sehingga Sariburaja berpamitan kepada Siboru Pareme dengan memberikan sebuah cincin untuk dapat diberikan kepada anak mereka sebagai pertanda apabila sudah besar nantinya. Sedangkan untuk menemani Siboru Pareme dan anaknya di hutan Sabulan di percayakan kepada binatang piaraannya yaitu “ Gompul “.
Berangkatlah Sariburaja meninggalkan Siboru Pareme dan anaknya bernama Siraja Lontung pergi jauh tampa tujuan, ternyata dalam perjalanannya tampa disadari ia bertemu dangan “ Homang “ ( bagi masyarakat suku batak homang sangat di takuti ) dan berkata kepadanya “ ise do ho na humaras – haras i, satung hulatang, so tung hulutung, hualithon tu andor tahu, sotung hupangan, so tung hututung, hupiringkon tu dongan sajabu “ ( siapa itu yang menggoyang – goyang daun, nanti saya potong – potong kau, dan saya bakar biar kami makan bersama ) “ ujarnya. Dan Sariburaja pun menjawabnya “ iale inang ompu – ompu ni hunik do ahu natinuhor sian onan, ompu ni hinalungun na soada tudosan, tagamonma langge, unang singkoru, rahanonma mate unang mangolu “ ( saya ini adalah orang yang tidak berguna yang dapat di perjualbelikan, dari pada hidup susah lebih baiklah saya mati ) ,ujarnya.
Ternyata pembicaraan Sariburaja dengan Homang itu didengar oleh salah seorang perempuan penghuni hutan yang bernama “ Nai Mangiring Laut “yang sedang duduk – duduk di pondok ( rumah ) dekat mereka, sehingga Nai Mangiring Laut meminta kepada Homang itu agar memberikan Sariburaja kepadanya, biar ada teman hidupnya. Sehingga Homang itu berkata kepada Sariburaja, “ Timbungma tanggurungkon, ia lohot ho disi pangoluonku ma ho, alai molo madabu panganonku do,” ( lompatlah ke pundakku ini, kalau kau dapat lengket kau akan ku biarkan hidup tapi kalau kau jatuh kau akan ku makan )” ujarnya. Maka melompatlah Sariburaja ke punddak Homang itu dan ternyata ia dapat lengket di pundaknya dan diantarkannyalah Sariburaja kerumah Nai Mangiring Laut dan mereka tinggal bersama – sama.
Tidak beberapa lama kemudian lahirlah anak Sariburaja dari Nai Mangiring Laut yang bernama “ Siraja Borbor “,
Kebiasaan Sariburaja yang suka bepergian tampa tujuan di sampaikannya kepada istrinya Nai Mangiring laut dengan maksud agar ia dapat di perbolehkan untuk pergi, dan istrinya pun merelakan kepergian Sariburaja. Sebelum berangkat Sariburaja memberikan sebuah cincin sebagai pertanda untuk diberikan kepada anaknya Siraja Borbor dengan maksud apabila sudah besar nanti dapat mengenalinya.
Dalam perjalanannya bertemulah Sariburaja dengan beberapa orang para pemain judi yang bernama Langka Somalidang dan Raja Asi – Asi, dan mereka saling mengajak untuk bermain judi, mereka bertigapun bermain judi dengan berbagai macam taruhan, sehingga Sariburaja kalah tampa menyisahkan barang – barangnya, sehingga ia pergi meninggalkan teman – temannya pergi jauh ke hutan belantara.
Setelah Siraja Lontung sudah dewsa, iapun pergi mencari siapa gerangan ayahandanya, dan bertanya kepada ibunya “ ale inang, nungnga pola tang dagingku, laos so dung do huida damang, didia do ibana “katanya ( oh ibu, saya sudah dewasa, tapi sampai saat ini belum saya kenal ayahanda, dimanakah beliau ). Ibunya pun menjawab “ Ia le anak hasian, unang ho parigat – rigat bulung, mangarigati bulung ni gaol, unang ho mangringkari hinalungun, pasunggul – sunggul hinadangol, namapultak sian bulu do hita, madekdek sian langit, ia goar ni amangmu Sariburaja do, alai nungnga leleng laho marjalang, indion ma tintin partanda nani lehonna tu au sipasahatonku tuho, asa molo luluanmu amang mi asa tintin on ma paboan – moan “ ujarnya ( Oh….anakku, ayahmu adalah bernama Sariburaja, tapi sudah lama pergi jauh entah kemana, kalau kau mau hendak mencari ayahmu, inilah cincin sebagai pertanda yang diberikan padaku untuk saya sampaikan padamu, bawalah cincin ini, apabila kau bertemu dengannya supaya mengenalimu ).
Berangkatlah Siraja Lontung menuju hutan sebelah timur menuju barat untuk mencari ayahandanya begitu juga dengan siraja Borbor permisi kepada ibunya dan berangkat untuk mencari ayahandanya menuju arah barat ke timur, namun mereka berdua belum saling mengenal satu sama lain masing – masing dengan membawa cincin yang duterimanya dari ibunya.
Setelah beberapa hari kemudian bertemulah mereka berdua di suatu tempat di tengan hutan, mereka berdua saling memandang, dan Siraja Lontong yang duluan bertanya “ siapakah gerangan saudara, apakah engkau orang tua saya ?, yang bernama Sariburaja,” ujarnya. Namun Siraja Borbor tidak menjawabnya, akan tetapi ia langsung marah melihat Siraja Lontung dan mereka langsung marmossak ( berkelahi ), karena dikiranya Siraja Lontung mengolok – olok Siraja Borbor, karena Siraja Borbor juga mau mencari ayahandanya.
Sehingga mereka pun berkelahi ditengah – tengah hutan itu selama tiga hari tiga malam tidak ada yang mengetahui, yang pada akhirnya perkelahian itu berhanti dengan sendirinya karena mereka telah merasa capek.
Tiba – tiba menangislah Siraja Lontung, seperti ini “ Iale inang dilehonho tu ahu sada tintin ( cincin ) on, laho mangalului damang na marsinuan i, hape ima huroha hite – hite tu hamatean i,”ujarnya ( Oh……..ibu, kau berikan cincin ini sama saya sebagai jalan untuk mencari ayahanda, namun inilah jalannya menuju kematian ),
Mendengar tangisan Siraja Lontung, Siraja Borbor terkejut dan heran, karena mereka berdua ternyata sama – sama mau mencari ayahandanya, karena Siraja Borbor teringat akan cincin pemberian ibunya, Siraja Borbor akhirnya mendekati Siraja Lontung dan berkata “ tiniptip sanggar mambahen huru – huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturon “ ujarnya ( dipotong – potong sanggar untuk dijadikan kurungan, di Tanya dulu nama ( marga ) biar saling mengenal ), karena saya juga mau mencari ayahanda yang bernama Sariburaja “ tambahnya.
Siraja Lontung akhirnya berdiri dan mendekati sambil menyalam Siraja Borbor dan berkata “ ayahanda juga bernama Sariburaja, dan itulah yang mau saya cari, berarti kita berdua adalah anak Sariburaja “ ujarnya, sehingga mereka berdua saling berpelukan dan menagisi nasip mereka dan pergi sama – sama untuk mencari ayahandanya. ( Erlin Hasibuan / dari berbagai sumber )

SIBORU DEAK PARUJAR.........

SIBORU DEAK PARUJAR



Pada masyarakat suku batak, bahwa awal terbentuknya bumi ini memiliki cerita atau legenda yang perlu kita renungkan, sebelum mesuknya pengetahuan agama ke tanah batak bahwa terjadinya langit dan bumi ini memiliki cerita atau turi – turian yang tidak jauh berbeda dengan yang diajarkan para missioner yang datang ke tanah batak dalam penyebaran agama pada ratusan tahun silam seperti tertulis dalam berbagai buku kitap suci.
Setelah Allah ( Debata Mulajadi Nabolon ) menciptakan benua atas ( banua ginjang ) lahirlah anak perempuan dari Bataraguru yang diberi nama “ Siboru Sobarjadi “ dan “ Siboru Deakparujar “, setelah anak perempuannya sudah besar atau sudah remaja maka dijodohkanlah Siboru Deakparujar kepada Siraja Adopadop dengan tanda pemberian sebuah cincin sebagai tanda mata untuk membentuk sebuah rumah tangga baru, tampa disadari cincin Siboru Deakparujar yang diterimanya itu terjatuh dari salah satu lubang benua atas ( Banua ginjang ) ke banua tengah ( banua tonga ), sehingga Siboru Deakparujar berencana untuk turun ke benua tengah ( banua tonga ) untuk mengambil cincinnya ayang jatuh itu, sehingga ia mengambil sehelai benang untuk sebagai jalannya turun ke banua tengah.
Ternyata setelah sampai di benau tengah ( banua tonga ) ternyata belum ada terbentuk tanah sebagai tempat berpijak hanya lautan luas yang ada, sehingga Siboru Deakparujar hanya dapat terombang ambing dan melayang – layang di bawa angin kesana kemari.
Karena belum ada tanah sebagi tempat berpijak di banua tengah, maka Siboru Deakparujar memanggil yang bernama “ Leang – leang Mandi “ dan menyuruhnya untuk meminta tanah satu genggam saja kepada ‘ Dewata Mulajadi Nabolon “ ( Allah Yang Maha Besar ), dan ia pun menjadikan tanah tersebut sebagai tempatnya berpijak.
Setelah ada tanah tempat untuk berpijak, maka Dewata Mulajadi Nabolon menyuruh Leang – leang Mandi untuk menjemput Siboru Deakparujar dari bumi agar kembali ke banua atas ( banua ginjang ), ternyata Siboru Deakparujar tidak mau lagi kembali ke banua atas. Disuruhnya lagi “ Raja Padoha “dari banua atas untuk menjemput Siboru Deakparujar juga tidak mau untuk kembali ke banua atas, sehingga Siraja Padoha menjadi sangat marah, karena sebelumnyapun Siraja Padoha sudah tidak senang melihat Siboru Deakparujar karena dia tidak mau menjadi istrinya.
Tampa di sadari Siboru Deakparujar tanah yang dijadikannya itu sebagai tempatnya tinggal telah di goyang – goyang ( dihutur – hutur ) si Raja Padoha sehingga terbelah – belah menjadi beberapa pulau, kecarianlah Siboru Deakparujar siapa gerangan yang telah menggoyang – goyang tanah tempatnya tinggal dan sudah terbelah – belah menjadi beberapa pulau besar, tiba – tiba muncullah si Raja Padoha dan berkata “ Ah……ahu do on, Raja Padoha “,ujarnya. Sehingga Siboru Deakparujar tidak habis akal, kenapa Raja Padoha begitu nakal sama Siboru Deakparujar. Lalu Siboru Deakparujar menyuruh Leang – leang Mandi untuk meminta daun sirih ( Napuran ) dari bibiknya ( Namborunya ) bernama “ Nan Bauraja “ dan dari “ Na Rudang Ulubegu “ untuk di makan (dikuyah ), setelah di makan bibirnyapun menjadi merah ( songon

garage ma ibana songon garugu, nasada ibana gabe songon na tolu pulu ), setelah bibirnya memerah diludahkannyalah ( dibursikkon ) air siriuhnya kepada Raja Padoho.
Bertambah cantiklah Siboru Deakparujar di hadapan Raja Padoha dan iapun memintanya agar dapat diberikan sirihnya ternyata Siboru Deakparujar tidak mau memberi sirihnya dan ia berkata “ Miak – miak ni ompunta do i, si padenggan pusu – pusu, si pahombang ate – ate, si paulak hosa loja, hasurungan ni boru ni raja, tanda ni hapantunon, tandani paradaton ( inilah pertanda bahwa yang memakan sirih adalah putri seorang Raja ) “ ujarnya. Kalau memang Raja Padoha mau makan sirih ini, kau harus mau apa saja yang kuminta darimu tambahnya, dan saya akan memasung kaki, tanganmu yang terbuat dari besi, tambah Siboru Deakparujar. Raja Padoha memenuhi semua permintaan Siboru Deakparujar, asal ia mau menjadi istrinya, dan diikatlah Raja padoha sekuat kuatnya pada tungko – tungko si pitu tanduk si sia ulu – ulu ( kayu tujuh tanduk Sembilan kepala ) agar tidak bisa bergerak.
Setelah Raja Padoha di pasung, ia pun meminta janji Siboru Deakparujar agar diberikan sirih yang sudah di janjikannya, ternyata Siboru Deakparyjar tidak mau juga memberikannya, bahkan ia menyuruh Leang – leang Mandi untuk pergi ke Mulajadi Nabolon untuk meminta tujuh gemgam tanah untuk dijadikan menutupi Raja Padoha hingga terbenam.
Raja Padoha pun bertanya kepada Siboru Deakparujar, apa maksud dan tujuannya berbuat seperti itu kepadanya, lalu Siboru Deakparujar menjawab “ itulah upahmu yang telah merusak tanah yang kujadikan itu. Kalau memang begitu hulalo ma tano na tinompamon ( saya akan mendatangkan gempa di tanah yang kau jadikan ini ) “, ujar Raja Padoha. Siboru Deakparujar pun menjawabnya lagi “ Nungnga husuhulhon ho tu bonani tungkot tada – tada tualang na bolon sisia ulu, tungkot ni Mulajadi Nabolon “ ( saya sudah mengikatmu pada tongkat Tuhan Allah )”, ujarnya lagi.
Sehingga sampai saat ini, apabila ada datang gempa di tanah batak maka warga akan menyebut “ Suhul, suhul,suhul……….”beberapa kali agar gempanya berhenti.
Siboru Deakparujar tidak mau lagi kembali ke banua atas , sehingga tunangannya bernama Si Raja Adopadop turunlah ke bumi (banua tonga ) yang akhirnya mereka membentuk rumah tangga yang baru, dan tidak beberapa lama perkawianan mereka berjalan lahirlah anaknya kembar dua yang satu anak laki – laki dan yang satunya anak perempuan ( dalam suku batak marporhas ) dan diberi nama Ihatmanisia untuk anaknya laki – laki dan Siboru Ihatmanisia nama untuk anaknya yang perempuan.
( Erlin Hasibuan/dari berbagai sumber ).

SABULAN...........

SABULAN



Gunung Pusuk Buhit yang terletak di Kabupaten
Samosir yang diyakini sebagai daerah asal muasal
kediaman suku batak. (foto: Erlin Hasibuan ).

SABULAN adalah salah satu nama perladangan desa yang berada di wilayah Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir saat ini, konon menurut cerita atau turi – turian bahwa daerah Sabulan adalah tempat tinggal Sariburaja bersama Siboru Pareme setelah mereka diusir dari kampungnya.
Pada suatu hari turunlah “ Mulajadi Nabolon ( Allah Yang Maha Besar ) menampakkan diri dengan Guru Tateabulan ( putra Siraja Batak yang pertama ) di desa Sianjur Mula – mula untuk meminta agar anaknya yang kedua bernama Sariburaja agar dapat di persembahkan ( diseat / dipotong ) kepada Mulajadi Nabolon. Dengan adanya permintaan itu maka Guru Tateabulan tidak dapat menolaknya.
Ternyata pembicaraan itu didengar oleh Siraja Biak-biak ( putra Guru Tateabulan yang pertama ) sehingga ia sangat ketakutan dan memberitahukan hal itu kepada ibundanya dan berkata “ o, inang ( o, ibu ), saya mendengar pembicaraan damang ( ayah ) dengan Ompunta Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Besar ) bahwa Sariburaja mau di seat ( dipersembahkan ), tapi menurut saya, sayalah yang mau di persembahkan, karena sayalah yang cacat anak ayah, namun walaupun saya cacat, sayalah anak ibu yang paling besar ( sipultak baju – bajum ) “ ujar Siraja Biak – biak kepada ibunya memohon perlindungan.
Mendengar perkataan anaknya itu, sang ibu pun merasa kasihan melihat anaknya dan ia pun menyuruh suaminya Guru Tateabulan untuk menyembunyikan anaknya Siraja Biak – biak ke Gunung Pusuk Buhit.
Setelah tiba waktu yang telah ditentukan, Guru Tateabulan bersama istrinya hendak melaksanakan permintaan Mulajadi Nabolon untuk mempersembahkan anaknya Sariburaja, namun secara tiba – tiba berbicaralah Mulajadi Nabolon dengan mengatakan :” siapa yang mau menjadi Sariburaja keluarlah dari persembunyiannya “ ujarnya, dengan tiba – tiba melompatlah Sariburaja dan duduk bersila di dekat Mulajadi Nabolon, dan ternyata Sariburaja telah bertambah ganteng dan bertambah cantik ( nungnga songon garaga ibana songon garugu, na sada songon na pitu pulu ).
Berangkatlah Mulajadi Nabolon ke banua ginjang ( benua atas ) melalui Pusuk Buhit, namun dalam perjalanan bertemu dengan Siraja Biak – biak, dan bertanya kepadanya, siapa yang membawa engkau kemari “, ujar Mulajadi Nabolon. Saya sangat takut mendengar pembicaraan Mulajadi Nabolon dengan ayah Guru Tateabulan karena meminta Sariburaja untuk di persembahkan ( di seat ), karena menurut saya, sayalah yang akan di persembahkan, sehingga saya meminta kepada ibunda agar saya diantarkan ayahanda ke sini, “ ujar Siraja Biak – biak dengan ketakutan.
Kalau begitu, maukah engkau saya jadikan ( tompaonku ) agar sujut padamu keturunan dari adekmu laki – laki ( anggim ) dan adekmu perempuan ( ibotom ),” ujar Mulajdi Nabolon kepada Siraja Biak – biak.
Sehingga Mulajadi Nabolon memberkati Siraja Biak – biak di Pusuk Buhit menjadi manusia sempurna, dan diberi punya sayap, dijadikanlah namanya menjadi Raja Uti, Raja na sora mate, Raja na sora matua ( raja yang tidak pernah meninggal, raja yang tidak pernah menjadi tua ), dan akhirnya di terbangkan Mulajdi Nabolon lah Raja Uti sampai ke daerah Aceh.

SARIBURAJA DAN SIBORU PAREME
Setelah bertahun – tahun lamanya Siraja Biak – biak ( Raja Uti ) tidak pernah kelihatan lagi dan bagi keluarganya tidak ada yang mengetahui kemana perginya Siraja Biak – biak, sehingga Sariburaja merasa bahwa ialah yang menjadi raja dan akan berbuat sesuka hatinya kepada saudara – saudaranya.
Pada suatu hari, berangkatlah Sariburaja untuk mengerjakan sawah orang tuanya di ikuti oleh Siboru Pareme adeknya sambil membawa nasi sebagai bekal untuk makan siang mereka. Namun Siboru Pareme tidak ikut bekerja ke sawah, ia hanya bermain – main sambil bernyanyi – nyanyi di pondok dekat sawah mereka, konon menurut cerita bahwa kelahiran Sariburaja dan Siboru Pareme adalah kembar ( marporhas dalam masyarakat suku batak ) membuat hubungan mereka berdua sangat intim sehingga mereka sering lupa akan abang beradek ( maritboto ) membuat mereka melakukan hubungan suami istri, yang pada akhirnya Siboru Pareme menjadi hamil.
Sebenarnya hal ini dapat dipahami, karena saat itu tidak ada seorang laki – laki dari klen lain selain dari klen Siraja Batak di kampung mereka, oleh karena itu tidak ada pilihan lain, lalu Siboru Pareme terangsang untuk menggoda abangnya Sariburaja atau mungkin ini sudah menjadi kehendak Mulajadi Nabolon saat itu,
Akibat perbuatan Sariburaja dan Siboru Pareme yang telah memalukan kelurga mereka, maka orang tuanya dan ke tiga orang adeknya ( Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja ) bersepakat untuk membunuh Sariburaja dan membuang Siboru Pareme ke dalam hutan belantara di daerah Sabulan ( di kaki gunung Pusuk Buhit ) karena mereka tidak tega membunuh Siboru Pareme.
Namun Siboru Pareme mengetahui rencana orang tuanya dan adik – adiknya ( ibotonya ) itu, sehingga ia memberitahukan hal ini ke Sariburaja, sehingga Sariburaja sangat ketakutan dan pergi melarikan diri ke daerah hutan Parik Sabungan, sebelum Sariburaja pergi ternyata ia berkesempatan untuk mencuri barang – barang pusaka orang tuanya seperti emas, ogung ( gendang ) dan cincin bernama cincin sipajadi – jadi dan disembunyikannya ke salah satu batu yang telah terbentuk seperti ember dengan memakai tutup dari atas, batu inilah yang dinamai “ Batuhobon “ sekarang yang berada di daerah Sibungbung rumah desa Limbong Kabupaten Samosir. Namun sebelum Sariburaja pergi meninggalkan keluarganya, iapun berpesan kepada Siboru Pareme agar membawa sobuaon ( abu bekas pembakaran ) satu bakul ( tandok ) apabila Siboru Pareme jadi diusir dari kampung mereka. Adapun maksudnya adalah apabila Siboru Pareme hendak mau pergi agar menjatuhkan sobuon tadi sedikit demi sedikit di jalan yang mereka lalui, agar Sariburaja tau arah tujuan tempat pembuangan Siboru Pareme.
Pada akhirnya Siboru Pareme diantarkanlah ke hutan belantara sejauh tujuh hari dalam perjalanan dari Sinjur Mula-mula dan dibawa pada malam hari dengan maksud agar Siboru Pareme tidak mengetahui jalan pulang kembali. Dan setelah mereka sampai di tempat tujuan dibuatlah gubuk kecil sebagai tempat tinggal Siboru Pareme, ditinggalkanlah Siboru Pareme di gubuk itu, lalu merekapun pulang ke Sianjur Mula-mula, sebelum Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja kembali, mereka pun membuat suatu perjanjian / sumpah (marbulan ) agar jangan ada diantara mereka yang akan memberitahukan dimana tempat tinggal Siboru Pareme berada. Sehingga sampai saat ini tempat tersebut mereka sebut dengan negeri “ SABULAN “.( Erlin Hasibuan/dari berbagai sumber ).