Entri Populer

Kamis, 21 Juli 2011

PUTRI BATAK

SAMOSIR

KOMUNITAS MARGA

LEGENDA POHON NIRA

LEGENDA POHON NIRA


Pohon Nira ( Mayang Enau ) yang banyak tumbuh di daerah tanah batak, bukanlah merupakan tanaman atau tumbuhan yang tumbuh begitu saja di berbagai tempat namun menurut sejarah atau legenda manang turi – turian , bahwa pohon nira ( mayang enau )atau di tanah batak disebut dengan nama “ Pakko”/Bagot” adalah memiliki cerita tentang perjodohan bagi masyarakat suku batak pada jaman dahulu kala yang tidak mengenal satu sama lain antara muda – mudi yang akan di pertunangkan.
Pohon Nira / Mayang Enau atau “ Pakko/Bagot “ ini dapat menghasilkan yang namanya “ Nira “( tuak )hasil sadapan, ijuk untuk atap rumah, tali dan lain – lain, Sagu bagian empuk/lunak dari dalam batangnya, lidi dari daunya, batangnya dibuat menjadi penyangga rumah adat batak disebut dengan “ Rassang – rassang “, dan memang begitu banyak mamfaat dan kegunaan dari pohon ini.
Menurut legenda atau sejarah turi – turian dalam masyarakat suku batak bahwa awal mula tumbuhnya mayang enau/pakko/bagot ini adalah sebagai berikut.
Pada jaman dahulu kala bagi masyarakat suku batak dalam pembentukan mahligai rumah tangga yang baru, masih didominasi dengan istilah perjodohan atau dijodohkan antara silaki – laki dengan si perempuan oleh kedua orangtua belah pihak atau oleh keluarga lainnya, apalagi masih memiliki tali persaudaraan atau kelompok keluarga.
Demikian juga halnya yang terjadi dalam keluarga Siraja Enda-enda dengan tunangannya Siboru Sobarjadi, Siraja Enda – enda adalah manusia yang tidak sempurna artinya ia menyerupai binatang “ Kadal “ (Ilik dalam suku batak )memiliki kaki empat badan besar dan matanya besar dan tinggal di bumi atau benua tonga, sedangkan calon istrinya yang bernama Siboru Sobarjadi adalah seorang putri kerajaan kayangan yang tinggal di awang – awang atau banua ginjang.
Setelah Siboru Sobarjadi sudah dewasa maka ia memohon kepada ayahandanya bernama “ Batara Guru” agar dapat diberangkatkan ia untuk menjumpai tunangannya Siraja Enda – enda ke bumi ( banua tonga ), maka disuruhnyalah abangnya ( ibotona )yang bernama “ Datu Tantan Debata “ untuk mengantarkan Siboru Sobarjadi untuk menjumpai Siraja Enda-enda di bumi.
Maka berangkalah Siboru Sobarjadi menuju rumah Siraja Enda-enda di bumi, sebelum memasuki rumah ia pun memanggil – manggil dengan mengatakan, “ Leang –leang mandi tambolungkon au jolo, baoa pangoli tailihon ma ahu jolo.”ujarnya dari luar rumah (yang artinya : Anak laki – laki calon pengantin, saya sudah datang, tolonglah lihat saya ).Ternyata Siraja Enda-enda telah mendengar suara teriakan itu dan iapun menjawabnya dari dalam rumah dengan mengatakan,” Jang ma jajangi, jang ma jajangon, padoras ma sian I, pajonok ma tu lambungkon “sambutnya dari dalam rumah (yang artinya : menyuruh Siboru Sobarjadi agar secepatnya masuk ke rumah ).Namun Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumahnya karena memiliki tangga menuju kerumahnya sangat tajam seperti pisau tajam.
Karena Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda iapun mengadukan hal ini kepada abangnya yang bernama “ Tantan Debata “ dan ia memohon agar abangnya dapat memberikan pertahanan/kekebalan agar ia bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda. Sehingga ia pun bisa memasuki rumahnya.
Setelah Siboru Sobarjadi tiba di dalam rumah Siraja Enda-enda, alangkah terkejutnya ia melihat Siraja Enda-enda karena ternyata Siraja Enda-enda bukanlah manusia sempurna, ia adalah julukan manusia ilik (kadal )/Siraja Ilik yang berkaki empat, matanya besar memiliki ekor, sehingga Siboru Sobarjadi mengurungkan niatnya untuk memiliki Siraja Enda-enda/Siraja Ilik menjadi suaminya, dan iapun berkata demikian “ tumagonanna ma ahu mate unang mangolu, ianggo tung muli tu Siraja Enda-enda,” ujarnya ( yang artinya : lebih baiklah saya mati dari pada menikah dengan Siraja Enda-enda).
Akhirnya Siboru Sobarjadi pun memberitahukan hal ini kepada abangnya (ibotona ) dan ia pun memohon agar dilaksanakan gondang sabangunan ( membunyikan Uning uningan ) untuk melampiaskan rasa kekesalannya, maka dilaksanakanlah gondang sabangunan tersebut dan Siboru Sobarjadi pun menari narilah sejadi jadinya seperti orang kesurupan, terlempar kesana – kemari, sehingga tampa disadari melompatlah Siboru Sobarjadi ketengah tengah halam rumah dan iapun tenggelam dan tertanam kedalam tanah.
Dan pada sore harinya telah tumbuh pohon di tengah – tengah perkampungan itu, tulang – tulangnya menjadi batangnya (pakkona), perutnya menjadi unokna (bagian lunak di dalam batangnya, bahan untuk membuat sagu), kain atau bajunya menjadi bangkarna (bagian kulit luar dari batangnya), rambutnya menjadi ijuk, tangannya menjadi hodongnya (dahannya), jari-jari tangannya menjadi lidinya (lili), air matanya menjadi tuak ni bagot ( nira ), dan pohon inilah yang dinamai “Pakko”/bagot/mayang enau (pohon nira ) yang menghasilkan nira (tuak ) saat ini.
Tuak adalah nira yang beragi dan sejenis minuman keras sebagai minuman khas suku batak, nira (tuak) disadap dari mayang enau/pakko/bagot kemudian nira ini dicampur dengan ragi atau kulit kayu yang dinamai “Raru”, sehingga menjadi nira / tuak yang mengandung alkohol, dalam suku batak disebut dengan “ Tuak Tangkasan “dan dalam peribahasa/pantun suku batak mengatakan :”
Tangkas ma uju purba,
Tangkasan ma uju angkola.
Tangkas ma namaduma,
Tangkasan ma na mamora…….
E M M A T U T U……............
(dari berbagai sumber/ by : Erlin Hasibuan ).

Sabtu, 26 Maret 2011

SIRAJA LONTUNG DAN SIRAJA BORBOR

SIRAJA LONTUNG DAN SIRAJA BORBOR





Setelah beberapa tahun lamanya Sariburaja dan Siboru Pareme bersama dalam pembuangan di daerah hutan Sabulan maka lahirlah anaknya dan diberi nama “ Siraja Altong “, di tempat mereka tinggal ada juga salah satu binatang yang bernama “ Gompul “ untuk menemani mereka dan Gompul inilah yang selalu membawa makanan seperti situak ni altong ( madu ) yang diberikannya kepada Siboru Pareme, di kemudian hari si Raja Altong sering juga dinamai dengan Siraja Lontung hingga saat ini.
Pada suatu hari Sariburaja merenung dan memikirkan hubungannnya dengan Siboru Pareme yang tidak mungkin akan terus hidup bersama karena mereka masih bersaudara ( kakak beradik/marito ) sehingga Sariburaja memutuskan untuk pergi meninggalkan Siboru Pareme bersama anaknya dan binatang yang selalu mengantar makanan kepada Siboru Pareme.
Niat sudah bulat untuk pergi tampa tujuan sehingga Sariburaja berpamitan kepada Siboru Pareme dengan memberikan sebuah cincin untuk dapat diberikan kepada anak mereka sebagai pertanda apabila sudah besar nantinya. Sedangkan untuk menemani Siboru Pareme dan anaknya di hutan Sabulan di percayakan kepada binatang piaraannya yaitu “ Gompul “.
Berangkatlah Sariburaja meninggalkan Siboru Pareme dan anaknya bernama Siraja Lontung pergi jauh tampa tujuan, ternyata dalam perjalanannya tampa disadari ia bertemu dangan “ Homang “ ( bagi masyarakat suku batak homang sangat di takuti ) dan berkata kepadanya “ ise do ho na humaras – haras i, satung hulatang, so tung hulutung, hualithon tu andor tahu, sotung hupangan, so tung hututung, hupiringkon tu dongan sajabu “ ( siapa itu yang menggoyang – goyang daun, nanti saya potong – potong kau, dan saya bakar biar kami makan bersama ) “ ujarnya. Dan Sariburaja pun menjawabnya “ iale inang ompu – ompu ni hunik do ahu natinuhor sian onan, ompu ni hinalungun na soada tudosan, tagamonma langge, unang singkoru, rahanonma mate unang mangolu “ ( saya ini adalah orang yang tidak berguna yang dapat di perjualbelikan, dari pada hidup susah lebih baiklah saya mati ) ,ujarnya.
Ternyata pembicaraan Sariburaja dengan Homang itu didengar oleh salah seorang perempuan penghuni hutan yang bernama “ Nai Mangiring Laut “yang sedang duduk – duduk di pondok ( rumah ) dekat mereka, sehingga Nai Mangiring Laut meminta kepada Homang itu agar memberikan Sariburaja kepadanya, biar ada teman hidupnya. Sehingga Homang itu berkata kepada Sariburaja, “ Timbungma tanggurungkon, ia lohot ho disi pangoluonku ma ho, alai molo madabu panganonku do,” ( lompatlah ke pundakku ini, kalau kau dapat lengket kau akan ku biarkan hidup tapi kalau kau jatuh kau akan ku makan )” ujarnya. Maka melompatlah Sariburaja ke punddak Homang itu dan ternyata ia dapat lengket di pundaknya dan diantarkannyalah Sariburaja kerumah Nai Mangiring Laut dan mereka tinggal bersama – sama.
Tidak beberapa lama kemudian lahirlah anak Sariburaja dari Nai Mangiring Laut yang bernama “ Siraja Borbor “,
Kebiasaan Sariburaja yang suka bepergian tampa tujuan di sampaikannya kepada istrinya Nai Mangiring laut dengan maksud agar ia dapat di perbolehkan untuk pergi, dan istrinya pun merelakan kepergian Sariburaja. Sebelum berangkat Sariburaja memberikan sebuah cincin sebagai pertanda untuk diberikan kepada anaknya Siraja Borbor dengan maksud apabila sudah besar nanti dapat mengenalinya.
Dalam perjalanannya bertemulah Sariburaja dengan beberapa orang para pemain judi yang bernama Langka Somalidang dan Raja Asi – Asi, dan mereka saling mengajak untuk bermain judi, mereka bertigapun bermain judi dengan berbagai macam taruhan, sehingga Sariburaja kalah tampa menyisahkan barang – barangnya, sehingga ia pergi meninggalkan teman – temannya pergi jauh ke hutan belantara.
Setelah Siraja Lontung sudah dewsa, iapun pergi mencari siapa gerangan ayahandanya, dan bertanya kepada ibunya “ ale inang, nungnga pola tang dagingku, laos so dung do huida damang, didia do ibana “katanya ( oh ibu, saya sudah dewasa, tapi sampai saat ini belum saya kenal ayahanda, dimanakah beliau ). Ibunya pun menjawab “ Ia le anak hasian, unang ho parigat – rigat bulung, mangarigati bulung ni gaol, unang ho mangringkari hinalungun, pasunggul – sunggul hinadangol, namapultak sian bulu do hita, madekdek sian langit, ia goar ni amangmu Sariburaja do, alai nungnga leleng laho marjalang, indion ma tintin partanda nani lehonna tu au sipasahatonku tuho, asa molo luluanmu amang mi asa tintin on ma paboan – moan “ ujarnya ( Oh….anakku, ayahmu adalah bernama Sariburaja, tapi sudah lama pergi jauh entah kemana, kalau kau mau hendak mencari ayahmu, inilah cincin sebagai pertanda yang diberikan padaku untuk saya sampaikan padamu, bawalah cincin ini, apabila kau bertemu dengannya supaya mengenalimu ).
Berangkatlah Siraja Lontung menuju hutan sebelah timur menuju barat untuk mencari ayahandanya begitu juga dengan siraja Borbor permisi kepada ibunya dan berangkat untuk mencari ayahandanya menuju arah barat ke timur, namun mereka berdua belum saling mengenal satu sama lain masing – masing dengan membawa cincin yang duterimanya dari ibunya.
Setelah beberapa hari kemudian bertemulah mereka berdua di suatu tempat di tengan hutan, mereka berdua saling memandang, dan Siraja Lontong yang duluan bertanya “ siapakah gerangan saudara, apakah engkau orang tua saya ?, yang bernama Sariburaja,” ujarnya. Namun Siraja Borbor tidak menjawabnya, akan tetapi ia langsung marah melihat Siraja Lontung dan mereka langsung marmossak ( berkelahi ), karena dikiranya Siraja Lontung mengolok – olok Siraja Borbor, karena Siraja Borbor juga mau mencari ayahandanya.
Sehingga mereka pun berkelahi ditengah – tengah hutan itu selama tiga hari tiga malam tidak ada yang mengetahui, yang pada akhirnya perkelahian itu berhanti dengan sendirinya karena mereka telah merasa capek.
Tiba – tiba menangislah Siraja Lontung, seperti ini “ Iale inang dilehonho tu ahu sada tintin ( cincin ) on, laho mangalului damang na marsinuan i, hape ima huroha hite – hite tu hamatean i,”ujarnya ( Oh……..ibu, kau berikan cincin ini sama saya sebagai jalan untuk mencari ayahanda, namun inilah jalannya menuju kematian ),
Mendengar tangisan Siraja Lontung, Siraja Borbor terkejut dan heran, karena mereka berdua ternyata sama – sama mau mencari ayahandanya, karena Siraja Borbor teringat akan cincin pemberian ibunya, Siraja Borbor akhirnya mendekati Siraja Lontung dan berkata “ tiniptip sanggar mambahen huru – huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturon “ ujarnya ( dipotong – potong sanggar untuk dijadikan kurungan, di Tanya dulu nama ( marga ) biar saling mengenal ), karena saya juga mau mencari ayahanda yang bernama Sariburaja “ tambahnya.
Siraja Lontung akhirnya berdiri dan mendekati sambil menyalam Siraja Borbor dan berkata “ ayahanda juga bernama Sariburaja, dan itulah yang mau saya cari, berarti kita berdua adalah anak Sariburaja “ ujarnya, sehingga mereka berdua saling berpelukan dan menagisi nasip mereka dan pergi sama – sama untuk mencari ayahandanya. ( Erlin Hasibuan / dari berbagai sumber )

SIBORU DEAK PARUJAR.........

SIBORU DEAK PARUJAR



Pada masyarakat suku batak, bahwa awal terbentuknya bumi ini memiliki cerita atau legenda yang perlu kita renungkan, sebelum mesuknya pengetahuan agama ke tanah batak bahwa terjadinya langit dan bumi ini memiliki cerita atau turi – turian yang tidak jauh berbeda dengan yang diajarkan para missioner yang datang ke tanah batak dalam penyebaran agama pada ratusan tahun silam seperti tertulis dalam berbagai buku kitap suci.
Setelah Allah ( Debata Mulajadi Nabolon ) menciptakan benua atas ( banua ginjang ) lahirlah anak perempuan dari Bataraguru yang diberi nama “ Siboru Sobarjadi “ dan “ Siboru Deakparujar “, setelah anak perempuannya sudah besar atau sudah remaja maka dijodohkanlah Siboru Deakparujar kepada Siraja Adopadop dengan tanda pemberian sebuah cincin sebagai tanda mata untuk membentuk sebuah rumah tangga baru, tampa disadari cincin Siboru Deakparujar yang diterimanya itu terjatuh dari salah satu lubang benua atas ( Banua ginjang ) ke banua tengah ( banua tonga ), sehingga Siboru Deakparujar berencana untuk turun ke benua tengah ( banua tonga ) untuk mengambil cincinnya ayang jatuh itu, sehingga ia mengambil sehelai benang untuk sebagai jalannya turun ke banua tengah.
Ternyata setelah sampai di benau tengah ( banua tonga ) ternyata belum ada terbentuk tanah sebagai tempat berpijak hanya lautan luas yang ada, sehingga Siboru Deakparujar hanya dapat terombang ambing dan melayang – layang di bawa angin kesana kemari.
Karena belum ada tanah sebagi tempat berpijak di banua tengah, maka Siboru Deakparujar memanggil yang bernama “ Leang – leang Mandi “ dan menyuruhnya untuk meminta tanah satu genggam saja kepada ‘ Dewata Mulajadi Nabolon “ ( Allah Yang Maha Besar ), dan ia pun menjadikan tanah tersebut sebagai tempatnya berpijak.
Setelah ada tanah tempat untuk berpijak, maka Dewata Mulajadi Nabolon menyuruh Leang – leang Mandi untuk menjemput Siboru Deakparujar dari bumi agar kembali ke banua atas ( banua ginjang ), ternyata Siboru Deakparujar tidak mau lagi kembali ke banua atas. Disuruhnya lagi “ Raja Padoha “dari banua atas untuk menjemput Siboru Deakparujar juga tidak mau untuk kembali ke banua atas, sehingga Siraja Padoha menjadi sangat marah, karena sebelumnyapun Siraja Padoha sudah tidak senang melihat Siboru Deakparujar karena dia tidak mau menjadi istrinya.
Tampa di sadari Siboru Deakparujar tanah yang dijadikannya itu sebagai tempatnya tinggal telah di goyang – goyang ( dihutur – hutur ) si Raja Padoha sehingga terbelah – belah menjadi beberapa pulau, kecarianlah Siboru Deakparujar siapa gerangan yang telah menggoyang – goyang tanah tempatnya tinggal dan sudah terbelah – belah menjadi beberapa pulau besar, tiba – tiba muncullah si Raja Padoha dan berkata “ Ah……ahu do on, Raja Padoha “,ujarnya. Sehingga Siboru Deakparujar tidak habis akal, kenapa Raja Padoha begitu nakal sama Siboru Deakparujar. Lalu Siboru Deakparujar menyuruh Leang – leang Mandi untuk meminta daun sirih ( Napuran ) dari bibiknya ( Namborunya ) bernama “ Nan Bauraja “ dan dari “ Na Rudang Ulubegu “ untuk di makan (dikuyah ), setelah di makan bibirnyapun menjadi merah ( songon

garage ma ibana songon garugu, nasada ibana gabe songon na tolu pulu ), setelah bibirnya memerah diludahkannyalah ( dibursikkon ) air siriuhnya kepada Raja Padoho.
Bertambah cantiklah Siboru Deakparujar di hadapan Raja Padoha dan iapun memintanya agar dapat diberikan sirihnya ternyata Siboru Deakparujar tidak mau memberi sirihnya dan ia berkata “ Miak – miak ni ompunta do i, si padenggan pusu – pusu, si pahombang ate – ate, si paulak hosa loja, hasurungan ni boru ni raja, tanda ni hapantunon, tandani paradaton ( inilah pertanda bahwa yang memakan sirih adalah putri seorang Raja ) “ ujarnya. Kalau memang Raja Padoha mau makan sirih ini, kau harus mau apa saja yang kuminta darimu tambahnya, dan saya akan memasung kaki, tanganmu yang terbuat dari besi, tambah Siboru Deakparujar. Raja Padoha memenuhi semua permintaan Siboru Deakparujar, asal ia mau menjadi istrinya, dan diikatlah Raja padoha sekuat kuatnya pada tungko – tungko si pitu tanduk si sia ulu – ulu ( kayu tujuh tanduk Sembilan kepala ) agar tidak bisa bergerak.
Setelah Raja Padoha di pasung, ia pun meminta janji Siboru Deakparujar agar diberikan sirih yang sudah di janjikannya, ternyata Siboru Deakparyjar tidak mau juga memberikannya, bahkan ia menyuruh Leang – leang Mandi untuk pergi ke Mulajadi Nabolon untuk meminta tujuh gemgam tanah untuk dijadikan menutupi Raja Padoha hingga terbenam.
Raja Padoha pun bertanya kepada Siboru Deakparujar, apa maksud dan tujuannya berbuat seperti itu kepadanya, lalu Siboru Deakparujar menjawab “ itulah upahmu yang telah merusak tanah yang kujadikan itu. Kalau memang begitu hulalo ma tano na tinompamon ( saya akan mendatangkan gempa di tanah yang kau jadikan ini ) “, ujar Raja Padoha. Siboru Deakparujar pun menjawabnya lagi “ Nungnga husuhulhon ho tu bonani tungkot tada – tada tualang na bolon sisia ulu, tungkot ni Mulajadi Nabolon “ ( saya sudah mengikatmu pada tongkat Tuhan Allah )”, ujarnya lagi.
Sehingga sampai saat ini, apabila ada datang gempa di tanah batak maka warga akan menyebut “ Suhul, suhul,suhul……….”beberapa kali agar gempanya berhenti.
Siboru Deakparujar tidak mau lagi kembali ke banua atas , sehingga tunangannya bernama Si Raja Adopadop turunlah ke bumi (banua tonga ) yang akhirnya mereka membentuk rumah tangga yang baru, dan tidak beberapa lama perkawianan mereka berjalan lahirlah anaknya kembar dua yang satu anak laki – laki dan yang satunya anak perempuan ( dalam suku batak marporhas ) dan diberi nama Ihatmanisia untuk anaknya laki – laki dan Siboru Ihatmanisia nama untuk anaknya yang perempuan.
( Erlin Hasibuan/dari berbagai sumber ).

SABULAN...........

SABULAN



Gunung Pusuk Buhit yang terletak di Kabupaten
Samosir yang diyakini sebagai daerah asal muasal
kediaman suku batak. (foto: Erlin Hasibuan ).

SABULAN adalah salah satu nama perladangan desa yang berada di wilayah Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir saat ini, konon menurut cerita atau turi – turian bahwa daerah Sabulan adalah tempat tinggal Sariburaja bersama Siboru Pareme setelah mereka diusir dari kampungnya.
Pada suatu hari turunlah “ Mulajadi Nabolon ( Allah Yang Maha Besar ) menampakkan diri dengan Guru Tateabulan ( putra Siraja Batak yang pertama ) di desa Sianjur Mula – mula untuk meminta agar anaknya yang kedua bernama Sariburaja agar dapat di persembahkan ( diseat / dipotong ) kepada Mulajadi Nabolon. Dengan adanya permintaan itu maka Guru Tateabulan tidak dapat menolaknya.
Ternyata pembicaraan itu didengar oleh Siraja Biak-biak ( putra Guru Tateabulan yang pertama ) sehingga ia sangat ketakutan dan memberitahukan hal itu kepada ibundanya dan berkata “ o, inang ( o, ibu ), saya mendengar pembicaraan damang ( ayah ) dengan Ompunta Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Besar ) bahwa Sariburaja mau di seat ( dipersembahkan ), tapi menurut saya, sayalah yang mau di persembahkan, karena sayalah yang cacat anak ayah, namun walaupun saya cacat, sayalah anak ibu yang paling besar ( sipultak baju – bajum ) “ ujar Siraja Biak – biak kepada ibunya memohon perlindungan.
Mendengar perkataan anaknya itu, sang ibu pun merasa kasihan melihat anaknya dan ia pun menyuruh suaminya Guru Tateabulan untuk menyembunyikan anaknya Siraja Biak – biak ke Gunung Pusuk Buhit.
Setelah tiba waktu yang telah ditentukan, Guru Tateabulan bersama istrinya hendak melaksanakan permintaan Mulajadi Nabolon untuk mempersembahkan anaknya Sariburaja, namun secara tiba – tiba berbicaralah Mulajadi Nabolon dengan mengatakan :” siapa yang mau menjadi Sariburaja keluarlah dari persembunyiannya “ ujarnya, dengan tiba – tiba melompatlah Sariburaja dan duduk bersila di dekat Mulajadi Nabolon, dan ternyata Sariburaja telah bertambah ganteng dan bertambah cantik ( nungnga songon garaga ibana songon garugu, na sada songon na pitu pulu ).
Berangkatlah Mulajadi Nabolon ke banua ginjang ( benua atas ) melalui Pusuk Buhit, namun dalam perjalanan bertemu dengan Siraja Biak – biak, dan bertanya kepadanya, siapa yang membawa engkau kemari “, ujar Mulajadi Nabolon. Saya sangat takut mendengar pembicaraan Mulajadi Nabolon dengan ayah Guru Tateabulan karena meminta Sariburaja untuk di persembahkan ( di seat ), karena menurut saya, sayalah yang akan di persembahkan, sehingga saya meminta kepada ibunda agar saya diantarkan ayahanda ke sini, “ ujar Siraja Biak – biak dengan ketakutan.
Kalau begitu, maukah engkau saya jadikan ( tompaonku ) agar sujut padamu keturunan dari adekmu laki – laki ( anggim ) dan adekmu perempuan ( ibotom ),” ujar Mulajdi Nabolon kepada Siraja Biak – biak.
Sehingga Mulajadi Nabolon memberkati Siraja Biak – biak di Pusuk Buhit menjadi manusia sempurna, dan diberi punya sayap, dijadikanlah namanya menjadi Raja Uti, Raja na sora mate, Raja na sora matua ( raja yang tidak pernah meninggal, raja yang tidak pernah menjadi tua ), dan akhirnya di terbangkan Mulajdi Nabolon lah Raja Uti sampai ke daerah Aceh.

SARIBURAJA DAN SIBORU PAREME
Setelah bertahun – tahun lamanya Siraja Biak – biak ( Raja Uti ) tidak pernah kelihatan lagi dan bagi keluarganya tidak ada yang mengetahui kemana perginya Siraja Biak – biak, sehingga Sariburaja merasa bahwa ialah yang menjadi raja dan akan berbuat sesuka hatinya kepada saudara – saudaranya.
Pada suatu hari, berangkatlah Sariburaja untuk mengerjakan sawah orang tuanya di ikuti oleh Siboru Pareme adeknya sambil membawa nasi sebagai bekal untuk makan siang mereka. Namun Siboru Pareme tidak ikut bekerja ke sawah, ia hanya bermain – main sambil bernyanyi – nyanyi di pondok dekat sawah mereka, konon menurut cerita bahwa kelahiran Sariburaja dan Siboru Pareme adalah kembar ( marporhas dalam masyarakat suku batak ) membuat hubungan mereka berdua sangat intim sehingga mereka sering lupa akan abang beradek ( maritboto ) membuat mereka melakukan hubungan suami istri, yang pada akhirnya Siboru Pareme menjadi hamil.
Sebenarnya hal ini dapat dipahami, karena saat itu tidak ada seorang laki – laki dari klen lain selain dari klen Siraja Batak di kampung mereka, oleh karena itu tidak ada pilihan lain, lalu Siboru Pareme terangsang untuk menggoda abangnya Sariburaja atau mungkin ini sudah menjadi kehendak Mulajadi Nabolon saat itu,
Akibat perbuatan Sariburaja dan Siboru Pareme yang telah memalukan kelurga mereka, maka orang tuanya dan ke tiga orang adeknya ( Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja ) bersepakat untuk membunuh Sariburaja dan membuang Siboru Pareme ke dalam hutan belantara di daerah Sabulan ( di kaki gunung Pusuk Buhit ) karena mereka tidak tega membunuh Siboru Pareme.
Namun Siboru Pareme mengetahui rencana orang tuanya dan adik – adiknya ( ibotonya ) itu, sehingga ia memberitahukan hal ini ke Sariburaja, sehingga Sariburaja sangat ketakutan dan pergi melarikan diri ke daerah hutan Parik Sabungan, sebelum Sariburaja pergi ternyata ia berkesempatan untuk mencuri barang – barang pusaka orang tuanya seperti emas, ogung ( gendang ) dan cincin bernama cincin sipajadi – jadi dan disembunyikannya ke salah satu batu yang telah terbentuk seperti ember dengan memakai tutup dari atas, batu inilah yang dinamai “ Batuhobon “ sekarang yang berada di daerah Sibungbung rumah desa Limbong Kabupaten Samosir. Namun sebelum Sariburaja pergi meninggalkan keluarganya, iapun berpesan kepada Siboru Pareme agar membawa sobuaon ( abu bekas pembakaran ) satu bakul ( tandok ) apabila Siboru Pareme jadi diusir dari kampung mereka. Adapun maksudnya adalah apabila Siboru Pareme hendak mau pergi agar menjatuhkan sobuon tadi sedikit demi sedikit di jalan yang mereka lalui, agar Sariburaja tau arah tujuan tempat pembuangan Siboru Pareme.
Pada akhirnya Siboru Pareme diantarkanlah ke hutan belantara sejauh tujuh hari dalam perjalanan dari Sinjur Mula-mula dan dibawa pada malam hari dengan maksud agar Siboru Pareme tidak mengetahui jalan pulang kembali. Dan setelah mereka sampai di tempat tujuan dibuatlah gubuk kecil sebagai tempat tinggal Siboru Pareme, ditinggalkanlah Siboru Pareme di gubuk itu, lalu merekapun pulang ke Sianjur Mula-mula, sebelum Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja kembali, mereka pun membuat suatu perjanjian / sumpah (marbulan ) agar jangan ada diantara mereka yang akan memberitahukan dimana tempat tinggal Siboru Pareme berada. Sehingga sampai saat ini tempat tersebut mereka sebut dengan negeri “ SABULAN “.( Erlin Hasibuan/dari berbagai sumber ).

LEGEBDA DANAU TOBA............

LEGENDA DANAU TOBA







Danau Toba yang sangat indah dan menawan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di wilayah Sumatera Utara kota Parapat.( Foto : Erlin Hasibuan )

Pada dahulu kala, hiduplah seorang jejaka ditepian danau toba bernama Djuara Dungdang, dan tinggal di sekitar sungai sipangolu di kaki gunung Pusuk Buhit, seorang pengembara yang pekerjaannya hanya berburu dan sebagai nelayan, ia hidup dalam kesendirian dan pergi kemana ia mau dan berjalan sesuai kehendak kaki melangkah dan selalu mengikuti buruannya.
Entah kenapa sudah tujuh hari tujuh malam Djuara Dungdang ( gelar Baoa si pogos – pogos ) ini tidak mendapat tangkapan hasil buruan ataupun mendapat seekor ikan dari hasil bubunya ( perangkap ikan ), iapun sangat resah lalu melanjutkan perjalanannya ke hulu sungai untuk menambatkan bubunya, ternyata ia disana menemukan kubangan air yang sangat bening, jernih dan didalamnya kelihatan sangat banyak ikannya, maka iapun memasangkan bubunya di dalam air, lama ia menunggu tak seekor ikan pun masuk kedalam bubunya.
Dengan penuh sabar Djuara Dungdang menunggu dan menunggu dengan hati gelisah dan dengan keyakinan yang pasti akan ada ikan yang masuk ke dalam bubunya untuk dibawa pulang ke rumah , terkadang ia berpikir untuk mengganti bubunya yang dibuatnya mungkin terlalu besar, namun dengan tiba – tiba Djuara Dungdang mendapat sesuat bisikan agar jangan mengganti bubunya lagi.
Setelah waktu sore hari menjelang malam akan tiba, ia melihat ada seekor ikan besar masuk ke dalam bubunya, Djuara Dungdang sangat bahagia dan girang karena ikan yang tertangkap sangat besar dilihatnya, sehingga ia sangat takut melihatnya. Dengan perasaan sangat gemetar iapun mengangkatnya dengan sekuat tenaga dan ikan besar tersebut dibawanya pulang kerumahnya.
Dalam kegelapan malam ia telah sampai dirumahnya dan meletakkan bubu dan ikannya di rumah Sopo ( salah satu jenis rumah adat batak ), sementara itu ia mempersiapkan kayu bakar untuk rencana memanggang ikan tersebut, tiba – tiba di kegelapan remangnya malam Djuara Dungdang seakan mendengar sayup – sayup suara bisikan seolah – olah ikan tersebut minta tolong agar jangan di potong.
Untuk menyakinkan pendenganrannya, ia mendekati ikan tersebut dan benar – benar bersuara dan dapat berbicara. Dengan rasa ketakutan Djuara Dungdang menyalakan lampu palitonya dan ia pun melihat ikan ajaib tersebut telah berubah menjadi wujud manusia seorang perempuan yang sangat cantik dan sisiknya telah berubah menjadi kepingan – kepingan emas, ia sangat kaget campur bahagia, sehingga mengurungkan niatnya untuk membakar ikan tersebut dan ia pun menghampiri perempuan cantik itu.
Lalu ia membenahinya dan menyimpan sisik – sisik ikan tersebut dengan harapan semakin banyak memperoleh emas dari sisik – sisik ikannya karena dalam hatinya semakin banyak emas yang diperoleh ia pun akan menjadi orang kaya di kampungnya dan karena senangnya Djuara Dungdang sampai ketiduran. Belum beberapa lama ia tertidur, ia sangat kaget karena seseorang gadis cantik membangunkannya untuk pamit pulang.
Dengan penuh harap dan memomohon Djuara Dungdang menyampaikan niatnya untuk menjadikan perempuan cantik tersebut sebagai istrinya, alangkah terkejutnya Djuara Dungdang karena gadis cantik itu menjawabnya dengan senang hati dan mengatakan “ Saya mau menjadi istri mu, asal kau mau berjanji dan bersumpah, bahwa kelak kau tidak akan menceritakan dan mengungkit – ngungkit asal usulku, serta kejadian ini tidak perlu diketahui oleh siapapun apalagi kepada anak – anak kita kelak nanti ( naso jadi dohononmu ahu sian dekke manang hatahonommu tu pinomparta muse ) “ Ujar sigadis cantik itu.
Djuara Dungdang pun berjanji bahwa tidak akan melanggar sumpah/janji mereka, Siboru Nauli menegaskan kembali bila sumpah/janji di ingkari dan di langgar bala akan datang atau mara bahaya akan terjadi di tanah yang mereka tempati dan Siboru Nauli akan kembali ketempatnya semula akan menjadi seekor ikan mas.
Persyaratan yang diajukan oleh Siboru Nauli pun diterima oleh Djuara Dungdang, dan ia tidak akan menceritakan kepada siapapun apa yang ia telah janjikan baik dikala senang maupun dikala susah, ia tidak akan mengucapkan hal ini kepada siapa pun.
Tidak beberapa lama perkawinan mereka berlangsung, lahirlah anaknya laki – laki dan kebahagiaan mereka terwujud dengan lahirnya anak tersebut sebagai hasil dari cinta mereka, dan kenyataan tidak seperti yang mereka harapkan anak tersebut tumbuh semakin besar namun semakin nakal dan sangat manja sehingga sering timbul masalah. Bagaimana merawat dan membesarkan si Bursok, kadang – kadang suami istri ini saling menuduh, saling menyalahkan antara ibu dan bapak.
Biasanya yang mengantarkan makanan kesawah sebagai bekal suaminya adalah sang istri, tetapi setelah anaknya menjadi besar, suatu ketika pekerjaan itu sudah diserahkan kepada Sibursok, ia disuruh untuk mengantarkan nasi ayahnya dan selalu terlambat karena si Bursok selalu bermain - main dulu bersama teman – temannya dan selalu berenang dulu disungai yang kebetulan kalau keladang harus melewati sungai sehingga nasi


Gunung Pusuk Buhit yang diyakini sebagai tempat asal mula orang batak yang diturnkan oleh Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Esa ) kala itu. ( Foto : Erlin Hasibuan ).

untuk ayahnya sering sampai kesiangan, membuat Djuara Dungdang sering kelaparan.
Disuatu hari ibunya menyuruh si Bursok untuk mengantarkan nasi ayahnya ke sawah, kebiasaan terulang ia mandi dan berenang lama bersama teman – temannya, setelah lama berenang si Bursok merasa lapar sehingga nasi yang dibawanya untuk ayahnya ia makan sampai habis, setelah itu ia pun pergi menemui ayahnya. Sesampainya di sawah, ia taruh tempat nasi disana dan Sibursok pergi begitu saja, karena sudah merasa salah telah menghabiskan nasi bawaannya, karena ia takut dimarahi.
Melihat anaknya datang, sang bapak menghampiri tempat nasinya, setelah membukanya ternyata hanya tempat nasi yang sudah kosong, sedangkan ia sendiri sudah sangat lapar sekali, akibatnya ia sangat marah melihat tingkah laku anaknya.Sehingga ia lupa akan janjinya karena tidak tertahankan lagi rasa kesalnya karena lapar, akhirnya Djuara Dungdang mengumpat dan berteriak – teriak memanggil anaknya dan memarahinya dengan kata – kata umpatan, ia memaki sepuasnya hingga ia mengucapkan kata – kata yang tidak boleh diucapkan, “ Dasar anak ikan, anak yang tidak bisa diatur “, ujarnya.
Mendengar ucapan serta perlakuan ayahandanya itu si anak pun lari ketakutan pulang kerumah sambil menangis dan mengadu kepada ibunya, ia lalu menceritakan perlakuan dan kata – kata umpatan ayahnya kepada si ibu, mendengar itu si ibu sangat sedih karena Djuara Dungdang suaminya telah mengingkari janjinya dan telah melanggar sumpahnya. Lama Siboru Nauli termenung sambil menatapi anaknya, tetapi apa mau dikata sumpah sudah dilanggar hukumannya pun tidak bisa lagi dielakkan.
Dengan diiringi tangis dan kesedihan, Siboru Nauli memerintahkan anaknya agar pergi menjauh keatas bukit karena hujan dan badai akan segera datang, sebab suaminya telah mengingkari janjinya. Setelah melihat anaknya telah sampai di puncak bukit, Siboru Nauli pun pergi kesungai untuk mencelupkan diri, diiringi dengan turunnya hujan badai yang sangat dasyat bercampur gemuruh, halilintar bergetar seolah – olah membelah bumi dan banjir pun datang dengan derasnya sehingga menggenangi seluruh desa mereka, air pun semakin membesar dan membentuk satu kubangan seperti danau. Dari cerita inilah berawal asal mula terjadinya Tao Toba ( Danau Toba ). ( Erlin Hasibuan / dari berbagai sumber )

Sabtu, 19 Maret 2011

SEJARAH TUNGGAL PANALUAN

SEJARAH TUNGGAL PANALUAN



Tunggal Panaluan yang di peragakan pada saat pelaksanaan Pesta Danau Toba bulan Oktober tahun 2009 lalu di Parapat(foto.Erlin hasibuan).
Tunggal Panaluan adalah sebuah tongkat yang bersifat magis dan terbuat dari kayu yang telah diukir dengan gambar kepala manusia dan binatang, panjang tongkat tersebut diperkirakan lebih kurang 2 (dua ) meter sedangkan tebalnya / besarnya kira – kira 5-6 cm.
Dalam suku batak tongkat panaluan dipakai oleh para datu dalam upacara ritus, dan tongkat ini dipakai para datu (dukun) dengan tarian tortor yang diiringi gondang (gendang) sabangunan.
Konon menurut sejarah suku batak bahwa Tunggal Panaluan ini merupakan fakta sejarah yang memiliki kisah hubungan terlarang, pada dahulu kala ada seorang raja yang tinggal di desa Sidogor dogor Pangururan di pulau Samosir di teluk perpisahan antara darat dan air, Raja ini bernama Guru Hatiabulan dengan memiliki seorang istri bernama Nan Sindak Panaluan.
Sesudah perempuan itu hamil, maka luar biasa lamanya barulah melahirkan, sehingga penduduk kampung menganggap keadaan itu sesuatu hal yang gaib, sehingga terjadilah bala kelaparan di negeri ini.
Tidak beberapa lama kemudian, melahirkanlah Nan Sindak Panaluan dengan melahirkan anak kembar, seorang anak laki – laki dan seorang anak perempuan (marporhas dalam suku batak ) dan seketika itu juga saat si anak dilahirkan turunlah hujan terus menerus dengan lebatnya, sehingga semua tanam tanaman bertumbuhan dan alam tampak segar dan hijau kembali.
Lalu Guru Hatiabulan mengundang semua pengetua adat dan kepala – kepala suku untuk mengadakan pesta besar dengan memotong seekor kerbau sebagai persembahan untuk mendamaikan kekuatan jahat itu sekaligus untuk mengumumkan nama anak – anaknya yang baru lahir itu, sehingga mereka mengadakan perjamuan makan besar bersama.
Usai mereka makan bersama, maka Guru Hatiabulan mengumumkan nama anak – anaknya, yang putra diberi nama “ Si Aji Donda Hatahutan “ dan yang putri diberi nama “ Si Boru Tapi Nauasan “. Sebelum acara perjamuan itu selesai ternyata para tamu yang hadir itu telah menasehati Guru Hatiabulan supaya anak – anak itu jangan bersama – sama diasuh, yang satu kiranya dibawah ke barat dan yang satunya ke timur, sebab kelahiran kembar apabila yang berlainan jenis adalah satu masalah yang sangat tidak baik menurut faham suku batak, akan tetapi Guru Hatiabulan tidak mengindahkan nasehat arif para pengetua – pengetua itu, bahkan Guru Hatiabulan mendirikan gubuk kecil di gunung Pusuk Buhit untuk menyembunyikan anak – anaknya dan iapun setiap harinya menghantarkan makanan mereka dengan menyiapkan seekor anjing untuk menjaga anak – anaknya itu.
Setelah anak – anaknya mulai menginjak dewasa, maka sang putri bernama Si Boru Tapi Nauasan pergi bermain – main, dan kebetulan melihat sebatang pohon bernama “ Piu piu Tanggule ( hau tada – tada ) “ yang batangnya dipenuhi duri – duri, dan pohon ini memiliki buah sudah mulai matang (masak) dan cantik – cantik lagi di pandang mata, maka Si Boru Tapi Nauasan kepingin makan buah – buah itu, sehingga ia memanjatnya dan memetik buahnya lalu dimakannya.
Akan tetapi seketika itu juga ia ditelan oleh pohon itu dan menjadi satu dengan pohon itu, hanya kepalanyalah yang masih kelihatan. Si Aji Donda Hatautan saudara laki – lakinya menunggu digubuknya sampai sore hari dalam kebingungan mengenai nasip saudarinya Si Boru Tapi Nauasan, sehingga saudaranya itu memutuskan untuk pergi kehutan untuk mencari saudarinya sambil memanggil – manggil namanya.
Ternyata panggilannya itu di dengar oleh Si Boru Tapi Nauasan, dan saudara laki – lakinya itu pun bertanya kepadanya, kenapa sampai bisa ditelan oleh pohon itu, dan iapun ingin membantu saudarinya itu.
Si Aji Donda Hatautan memutuskan untuk memanjat pohon itu, ternyata ia juga menjadi lengket dan dihisap dan bersatu dengan pohon itu, begitu juga dengan anjingnya setelah datang mencari – cari dan melompat kepohon itu untuk menolong tuannya tetapi anjingnya ini pun lengket juga dipohon itu.
Sebagai mana biasanya, pada keesokan harinya, orangtuanya datang untuk mengantarkan makanan anak – anaknya ke gubuk, tetapi ia tidak melihat anak – anaknya di gubuk itu lagi, sehingga ia pergi mencarinya kedalam hutan dengan mengikuti jejak kaki anak – anaknya, dan ia sangat terkejut menlihat kejadian itu yang hanya melihat kepala anak – anaknya dan kepala anjingnya lengket di pohon itu.
Dengan rasa sedih dan bersusah hati, Guru Hatiabulan pergilah mencari seorang tukang sihir, dan ia bertemu dengan “ Datu Parmanuk Koling “, dan menceritakan apa yang telah dialami oleh anak – anaknya. Datu inipun pergilah kepohon itu disertai dengan orang – orang yang ingin melihat kejadian itu, karena kejadian ini sudah tersiar kemana – mana.
Seperangkat alat gendang dibawalah ketempat itu dan sang datupun mulai membacakan mantera – manteranya untuk mengusir roh – roh jahat itu, dan sang dukun memanjat pohon itu akan tetapi ia juga ditelannya.
Dengan hati bingung dan bertanya – tanya dalam hati, Guru Hatiabulan dan para warga yang menyaksikan ritual tersebut kembali kerumahnya masing – masing, akan tetapi mereka tidak putus harapan mereka juga pergi untuk mencari seseorang datu (dukun) lain dengan harapan dapat mengambil anak – anaknya yang lengket dipohon itu dan mereka pun bertemu dengan seorang ahli/tukang sihir ternama yang bernama “ Marangin Bosi “ atau disebut juga dengan gelar dukun “ Malatang Malliting” , orang inipun pergilah kepohon itu akan tetapi di telan juga.
Begitu juga dengan “Datu Boru Sibasobolon “ datang juga kepohon itu namun ditelan juga, begitu juga yang terjadi dengan “ Datu Horbo Marpaung “ dan “ Datu Siajibahir “ atau gelar jolma so begu (separoh manusia separoh setan ) dan seekor ular yang kebetulan memanjat pohon itu tertelan juga.
Guru Hatiabulan telah kehabisan akal, karena ia telah mengeluarkan banyak hartanya untuk keperluan para dukun (datu) tersebut, berselang beberapa hari kemudian seseorang “ Datu Parpansa Naginjang “ datang menjumpai Guru Hatiabulan dan memperkenalkan diri dan dukun ini mengatakan bahwa ia bisa melepaskan orang – orang yang ditelan pohon itu. Sehingga Guru Hatiabulan mempercayai sang dukun ini dan memberikan semua keperluan yang ia minta karena menurutnya mereka harus mempersembahkan kurban kepada semua roh – roh dari daratan dan roh – roh dari hutan dan yang lain nya, maka mereka akan dilepaskan.
Guru Hatiabulan mempersiapkan semua permintaan dan melaksanakan petunjuk sang dukun, kemudian merekapun pergi kepohon itu untuk memasang semua ilmu – ilmu sihir yang diketahui si dukun ini. Lalu sang dukun menebang pohon sampai roboh namun secara tiba – tiba semua kepala manusia dan kepala binatang itu lenyap dan menghilang sehingga semua orang – orang yang menyaksikannya menjadi bingung.
Akan tetapi sang dukun berkata, agar Guru Hatiabulan memotong kayu dan mengukirnya dengan memberikan gambaran dari orang – orang yang lenyap di pohon itu. Hal inipun dilakukannya dengan mengukir gambaran 5 (lima) orang kepala laki – laki, dan 2 (dua) orang kepala perempuan, seekor anjing dan seekor ular melata. Setelah usai di ukir merekapun kembali kekampungnya dan diadakanlah pesta dengan memalu gendang dan memotong seekor kerbau.
Datu Parpassa Ginjang menarikan suatu tari kebirahian, dengan jalan ini ia membuat dirinya kesurupan dengan roh – roh dari yang tertelan itu, sesudah ia disurupi oleh roh – roh ini merekapun memulai pembicaraan melalui sang dukun dan salah seorang dari roh itu mengatakan :” O….bapak pengukir, bapak telah mengukir gambaran kami yang mempunyai mata, akan tetapi tidak dapat untuk melihat, kami mempunyai mulut akan tetapi tidak dapat berbicara, kami mempunyai kuping akan tetapi tidak dapat mendengar, kami mempunyai tangan akan tetapi tidak bisa memegang, maka kami akan mengutuk bapak penyihir.” Ujar roh itu.
Datu itu pun menjawab : “ jangan kutuk saya, akan tetapi pisau inilah, karena jika tidak dengan itu saya tidak dapat mengukir gambaranmu “. Lalu Pisau itu menjawab :“ jangan kutuk saya akan tetapi tukang besi itulah, karena jika ia tidak menempa saya, saya tidak akan pernah menjadi sebilah pisau “. Tukang pandai besi berkata :” jangan kutuk saya, akan tetapi pengembus / puputan itulah, karena jika tidak dengan tiupannya saya tidak akan dapat menempa sesuatu apa “. Pengembus / Puputan itu berkata : “ jangan kutuk saya, akan tetapi Guru Hatiabulan lah, sebab jika ia tidak seperti yang kami perbuat, kami tidak akan pernah melakukan pekerjaan ini.
Roh itu kembali berbicara, yang ditujukan kepada Guru Hatiabulan dengan mengatakan : “ saya kutuk kamu bapa dan juga kamu ibu yang melahirkan saya, “Lalu Guru Hatiabulan menjawab : “ janganlah kutuk saya, akan tetapi kutuklah dirimu sendiri, kau yang telah terjerumus / jatuh kedalam lubang, kau yang dibunuh dengan lembing dan kamu yang tidak mempunyai keturunan.”ujarnya.
Lalu roh itu berkata : “ jikalau demikianlah kejadiananya bapa, pergunakanlah saya dari sekarang sebagai pangkal pada musim hujan, pemanggil hujan dalam musim kemarau, penasehat dalam pemerintahan dalam negeri, teman seperjuangan dalam peperangan, sumber / penyebab kebusukan / kerusakan dalam penyakit dan kematian, kekuatan untuk mengusut pencuri dan perampok.”
Sesudah itu, upacarapun usai dan masyarakatpun kembali kerumahnya masing – masing, sehingga di kemudian hari nasehatnya itu dituruti dengan mempergunakan tongkat yang demikian sesuai dengan yang dipesankan, ( dari berbagai sumber/parsaba_hasibuan@yahoo.com/. persia.baru@yahoo.com.
By: (Erlin Hasibuan).

LEGENDA SIGALE GALE...........

LEGENDA SIGALE GALE



Patung Sigale gale yang diabadikan dengan penulis saat berkunjung ke daerah Tomok Kab.Samosir pada pelaksanaan Pesta Danau Toba pada bulan Oktober Tahun 2009 lalu.(Foto : Erlin Hasibuan )

Sigale gale adalah sejenis patung yang diukir menyerupai manusia yang terbuat dari kayu, yang dapat digerakkan seperti cara seseorang dalang untuk memainkan wayang golek dalam suku jawa, tetapi permainannya hanya dalam gerak ( tortor / tari ) diiringi oleh musik gondang sabangunan.
Kayu yang sudah siap diukir menyerupai manusia ini di buatlah di setiap persendiannya seperti ikatan dari benang misalnya di leher, lutut tangan dan kaki dan jari jemari tangan tersebut lalu dirangkai dengan sedemikian rupa, dan tali temali tersebut disambungkan dengan seseorang atau beberapa orang dalang yang akan memainkannya namun sebelumnya bahwa patung tersebut telah diberi berpakaian lengkap seperti pakaian adat suku batak, sehingga si gale gale ini dapat menari adalah tergantung kepada orang yang mengatur tali temali yang menggerakkan bagian – bagian tertentu dari Sigale gale itu yang disesuaikan dengan irama gendang ( gondang ).
Hal ini dilakukan adalah menggambarkan keadaan yang terjadi pada masyarakat suku batak dan aspek – aspek lain yang berhubungan dengan kebudayaan masyarakat suku batak pada jaman dahulu kala.
Konon menurut legenda suku batak, sejarah Sigale gale dapat dikisahkan sebagai berikut, pada jaman dahulu kala hiduplah satu keluarga yang menyandang gelar Raja di kampungnya yang bernama “ Raja Rahat “ dan Raja ini sudah terkenal dimana – mana karena memiliki harta yang berlipat ganda, namun hanya memiliki keturunan seorang anak laki – laki.
Pada suatu hari anak satu satunya ini di timpa suatu penyakit yang aneh dan tidak ada salah satu orangpun dukun ( datu ) yang dapat mengobati penyakit sianak ini, sehingga anaknya ini menghembuskan napasnya yang terakhir membuat sang raja sangat berduka.
Sang Raja pun menyuruh para pengawalnya ( ulubalang ) untuk mencari para tukang ukir kayu keseluruh penjuru kampung, agar dapat membuat patung dari kayu yang menyerupai anaknya yang telah pergi meninggalkannya itu. Tidak beberapa lama kemudian datanglah salah seorang tukang ukir kayu yang sangat terkenal di daerah itu bernama “ Rahat Bulu dengan gelar Datu Manggeleng “ , sehingga sang raja pun menceritakan niatnya agar tukang ukir kayu tersebut dapat mengukir sebuah patung manusia yang menyerupai anaknya dalam waktu selama tiga hari saja, sang tukang ukir kayu ini pun dapat menyanggupi permintaan sang raja.
Dalam pencariannya, sang kudun ( tukang ukir kayu ) ini melihat sebatang pohon yang tidak bercabang dan tidak berdaun dan besarnya sebesar tubuh manusia di dalam hutan, sang dukun pun menebang kayu tersebut karena sesuai dengan pesanan sang raja, lalu sang dukun melukis pohon itu dan mengukirnya berbentuk manusia, seolah – olah seperti manusia yang hidup dan bentuknyapun bertambah cantik setelah diberi berpakaian lengkap dengan perhiasannya.
Alangkah gembiranya hati sang raja Rahat setelah melihat patung itu, karena benar – benar mirip dengan anaknya yang sudah meninggal, rasa sedih hati sang raja pun dapat terobati maka dilaksanakanlah acara adat pemberangkatan dengan menabuh gendang untuk memberangkatkan anaknya ke pekuburan untuk dikebumikan, dan patung tersebut digerak – gerakkan tukang ukir kayu inilah sambil menari – nari dengan mengikuti irama gendang ( ogung ) tadi,
Usai acara penguburan anaknya, sang raja Rahat pun berpesan kepada penduduk yang menyaksikan acara penguburan anaknya itu, dan Raja Rahat mengatakan “ apabila suatu saat nanti saya telah meninggal dunia, patung yang kalian ukir inilah teman kalian untuk menari – nari di dekat saya, karena saya tidak memiliki anak lagi, dan patung ini saya beri nama “ SIGALE GALE “ , dan seluruh harta yang saya miliki ini dapat dihabiskan semuanya untuk makan dan minum warga, dan kalaupun ada seperti saya ini agar sigale gale inilah untuk disuruh menari – nari dan dapat menghabiskan hartanya, agar jangan ada lagi kejadian seperti ini di kampung kita ini untuk di kemudian hari.” Ujar sang raja.
Beberapa tahun kemudian, meninggallah raja Rahat ini tampa memiliki keturunan lagi, sehingga para warga sekampung berembuklah untuk melaksanakan pesan ( tona ) sang raja semasih hidupnya kepada penduduk kampung, maka diputuskanlah untuk melaksanakan acara pemakaman seperti yang dipesankan sang raja. Dan Sigale gale pun di mainkanlah dengan menari – nari oleh sang dukun dan seluruh harta sang raja di habiskan untuk membeli makanan dan minuman, usai acara adat dilaksanakan maka diantarkanlah sang raja Rahat bersama Sigale gale ke pekuburan untuk di kebumikan bersama – sama.
Demikianlah kisah / legenda Sigale gale dibuat menjadi patung yang diukir menyerupai manusia, bagi masyarakat suku batak kisah ini merupakan pesan atau tona berupa permohonan kepada Ompu Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Esa ) agar warga masyarakat suku batak yang membentuk rumah tangga baru dapat dikaruniai keturunan dan diberi kehidupan yang lebih baik, H o r a s. Erlin Hasibuan ( dari berbagai sumber ).

Rabu, 16 Maret 2011

LEGENDA BATU GANTUNG


LEGENDA BATU GANTUNG

              
      Lokasi Batu Gantung yang berada di tebing jalan menuju Kota Turis Parapat yang         
        dapat dilalui hanya dengan naik kapal,(Foto: Erlin Hasibuan)


P
ada jaman dahulu kala, masyarakat suku batak masih
mempercayai dan sangat menyakini bahwa suatu tempat – tempat tertentu masih memiliki kekuatan gaib, bahkan, ada kalanya tempat – tempat tersebut dapat mencelakakan seseorang apabila orang tersebut melintasi daerah yang masih dianggap sebagai Parsombaonan ( daerah angker/berbahaya dan keramat-red).
Daerah – daerah yang dianggap keramat itu, mungkin tidak hanya berada didaerah tanah batak saja, akan tetapi di daerah – daerah lainpun diyakini masih ada. Salah satu tempat yang dianggap keramat di Tanah Batak adalah “ BATU GANTUNG “ yang terletak di kawasan wisata Danau Toba, kota turis Parapat, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.
Batu Gantung ini berada di tepian air Danau Toba, arah sebelah timur laut persis dibawah jalan lintas Sumatera menuju Kota Parapat apabila kita datang dari arah kota Pematang Siantar, dan dapat dilihat dengan jelas di arah tebing yang curam dan jelas menggangtung pada suatu dinding lereng batu terjal, tampa suatu ikatan dan seakan akan bukan merupakan bagian dari lereng gunung tersebut.
Bahkan , tebingnya condong dan dapat terlihat dengan jelas dari atas kapal yang dapat disewa dari kota Parapat dan kapal ini hanya dapat melintas dan berputar sekali saja di dekat pinggiran danau tersebut.
Bagi masyarakat batak, batu gantung bukan hanya sebatas seonggak batu besar yang seolah – olah menggantung begitu saja pada salah satu sisi dinding bukit di pinggiran danau toba, konon dibalik keberadaannya, batu gantung ini terdapat kisah sedih tentang perjodohan muda – mudi suku batak kala itu dan masih dianggap keramat sampai saat ini.

          Alangkah indahnya pemandangan ini dapat dinikmati apabila kapal yang melintasi daerah tersebut dapat bersandar hanya sekitar 30 menit saja guna memudahkan orang – orang terutama para wisatawan yang melihat dari dekat batu gantung ini, memang sudah seharusnya pihak yang peduli tentang wisata danau toba untuk membangun pasilitas dermaga kecil disekitar daerah batu gantung ini seperti dermaga terapung.Pasilitas tersebut diyakini akan mampu untuk meningkatkan minat para wisatawan untuk datang kekawasan wisata danau toba yang pada akhirnya ikut mendongkrak pendapatan masyarakat sekitar.
Batu Gantung merupakan objek wisata yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sumatera Utara, bahkan tempat tujuan wisata ini berikut beragam legendanya yang melatarbelakangi munculnya Batu Gantung selama ini sudah cukup banyak diketahui oleh masyarakat luas.
Keingintahuan orang tentang kepopuleran dan keajaipan Batu Gantung ini terbukti dengan banyaknya orang yang mengunjungi kota turis Parapat setiap hari dan akan menyempatkan diri untuk melihat dari dekat bahkan menjadi salah satu tempat spesifik untuk berpoto sebagai kenang kenangan.Untuk menuju daerah Batu Gantung penumpang dapat naik kapal yang banyak tersedia di kota Parapat, untuk menjangkau lokasi tersebut cukup dibutuhkan waktu sekitar 30 menit saja..
Terjadinya batu gantung yang konon menurut cerita/legenda dari masyarakat suku batak adalah berawal dari salah satu desa perkampungan penduduk yang berada disekitar pinggiran danau toba yaitu “ HUTA SIBAGANDING “ yang tidak jauh jaraknya dari kota Parapat.
Di desa ini, konon hidup salah satu keluarga yang sehari – harinya bekerja sebagai nelayan, keluarga ini memiliki seorang putri tunggal yang sangat cantik nan jelita dan memiliki rambut panjang sampai kelutut kaki, kecantikan wanita ini sampai – sampai tidak ada yang menandingi disekitar perkampungannya.
Setelah dewasa, sang putri nan jelita ini menjadi rebutan para pemuda keturunan kerajaan dari kampung tetangga, bahkan banyak diantara mereka berhasrat untuk dapat mempersunting sang putri untuk dijadikan sebagai permaisuri kerajaan.Tampa sepengetahuan putri yang cantik dan rupawan ini, kedua orang tuanya ternyata telah menjodohkan anak satu – satunya ini dengan seseorang lelaki sekampungnya dan masih ada hubungan kekeluargaan.
Mengetahui perjodohan ini, sang putripun mulai merasa gelisah bercampur bingung, pada suatu hari, orang tua sigadis meminta kepada putri kesayangannya itu agar mau dijodohkan dengan lelaki pilihan ayahandanya, alangkah terkejutnya sang putri mendengar perkataan orang tuanya itu, karena ia tidak mencintai laki – laki yang dijodohkan itu, namun orang tuanya tetap memaksa dan bersikeras untuk menjodohkan putrinya itu tampa memikirkan perasaan buah hatinya itu.

          Dengan perasaan sedih dan bingung, si gadis berparas cantik ini akhirnya pergi menyingkir kehutan yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka dan diikuti dengan seekor anjing piaraannya..Beberapa saat kemudian, orang tua si gadis yang baru saja pulang dari menangkap ikan di danau Toba, sangat terkejut karena ia tidak menjumpai putrinya itu berada dirumahnya lagi.Orang tua si gadis itupun kemudian mendatangi rumah – rumah tetangganya utnuk menayakan apakah mereka mengetahui dimana keberadaan putri kesayangannya itu.
Suasana semakin heboh di perkampungan ini, karena tidak seseorangpun warga dikampung itu yang mengetahui dimana keberadaan sang putri tersebut..Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat, menandakan malam akan segera tiba, putri satu – satunya itupun belum juga kembali kerumah orang tuanya sehingga warga sekampung memutuskan untuk mencarinya bersama – sama.
Dalam suasana gelap, hanya dengan bermodalkan obor yang terbuat dari bambu, warga sekampung terus berupaya untuk mencari sang gadis sampai ke dalam hutan di sekitar perkampungan mereka, namun upaya upaya warga inipun tidak membuahkan hasil, ternyata si gadis mengetahui adanya sejumlah warga sekampungnya sedang mencari – cari dirinya. Mendengar suara – suara warga yang sedang sibuk melakukan pencarian, sang gadispun terus pergi menjauh sampai menuju pinggiran Danau Toba.
Karena sudah terasa terjepit dan rasa takut yang mendalam, tampa pikir panjang gadis cantik dan jelita inipun melompat dari atas tebing kedanau yang disusul dengan anjingnya, saat melompat kedanau itu, rambutnya yang panjang dan hitam tersangkut pada lereng terjal dan tergantung yang akhirnya menjelma menjadi batu, sehingga sampai saat ini dinamai “ BATU GANTUNG “ dan demikian juga dengan anjingnya ikut tersangkut yang kemudian berubah menjadi batu pula persis berada di sebelah kiri sang putri.
(erlin hasibuan/dari berbagai sumber)

     









LEGENDA NYI RORO KIDUL PUTRI BATAK

                                    

            Salah satu bentuk rumah batak yang disebut dengan nama “Ruma”.

N
YI RORO KIDUL atau disebut juga dengan penghuni Ratu Pantai Selatan adalah keturunan keraton yang bermukim di Pelabuhan Ratu, Yogjakarta Pulau Jawa. Konon menurut legenda atau turi – turian  bahwa Nyi Roro Kidul adalah seorang putri Batak keturunan dari Ompu Guru Tatea Bulan yang bernama BIDING LAUT.
          Guru Tatea Bulan adalah putra pertama dari Si Raja Batak, sedangkan Guru Tatea Bulan memiliki keturunan /anak sebanyak sepuluh orang terdiri dari lima orang putra dan lima orang putri. Kelima putra tersebut adalah Raja Uti, Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja, sedangkan kelima putrinya tersebut adalah bernama Biding Laut, Siboru Pareme, Sianting Haumasan, Sinta Haumasan dan Nantinjo.
          Guru Tatea Bulan beserta keturunannya tinggal bersama di kampung “ SIANJUR MULAMULA “ Kabupaten Samosir saat ini dan hidup dalam satu rumah, setelah anak – anaknya menjadi dewasa maka sudah seharusnyalah untuk membentuk rumah tangga yang baru, namun walaupun mereka sudah cukup dewasa tidak dapat kawin karena tiada seorang lelaki atau perempuan dari klan lain pun yang berada di kampung itu, selain dari keturunan Guru Tatea Bulan sendiri.
          Keturunan Guru Tatea Bulan yang bernama Saribu Raja dan Siboru Pareme adalah dua orang anak kembar (marporhas dalam masyarakat suku batak ) lain jenis, sedangkan dalam kepercayaan suku Batak hal ini harus senantiasa di jaga agar supaya jangan melakukan perbuatan terlarang ( perkawinan incest). Walaupun  sebelumnya Seriburaja telah kawin dengan Nai Mangiring Laut (Si Biding Laut ) yang juga masih saudaranya sendiri, dari segi kemanusiaan hal ini dapat dipahami betapa berat tekanan batin yang diderita oleh anak berusia dewasa, maka oleh karena tidak ada pilihan lain, sehingga mereka saling menggoda untuk melakukan hubungan suami istri atau mungkin ini sudah kehendak Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Esa ). kala itu.
          Dalam kehidupannya sehari – hari Sariburaja dan Si Boru Pareme tidak dapat lagi mengendelakan hawa nafsunya yang pada akhirnya mereka melakukan perkawinan incest, sehingga meyebabkan Si Boru Pareme berbadan dua atau hamil, aib yang menimpa keluarga Guru Tatea Bulan ini tidak dapat lagi ditutup tutupi, sehingga para adeknya bernama Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja telah mengetahui perbuatan abangnya Sariburaja sehingga mereka bertiga bermufakat untuk membunuh Sariburaja dan mengusir Si Boru pareme dari kampung mereka Sianjur Mulamula.
          Dengan adanya ancaman dari saudara-saudaranya Sariburaja yang akan membunuhnya karena perbuatan tercela ini, maka Sariburaja memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung kelahirannya serta meninggalkan saudara – saudaranya.
          Sebelum meninggalkan kampungnya, Sariburaja ternyata pergi menjumpai “BATU HOBON “ ( Batu hobon adalah batu yang diyakini sebagai tempat penyembunyian barang – barang pusaka Si Raja Batak / Guru Tatea Bulan bertempat di Sibungbung rumah Desa Limbong dan saat ini telah dikelola Pemerintah Kabupaten Samosir Sebagai salah satu tempat wisata yang dapat dikunjungi )untuk menyembunyikan barang – barang pusakanya.
          Namun sebelum Sariburaja pergi untuk meninggalkan keluarganya, iapun berpamitan kepada kakaknya bernama “ SI BIDING LAUT “ agar jangan mencarinya lagi, karena ia akan pergi meninggalkan mereka.
          Ternyata si Biding Laut tidak percaya akan kepergian Sariburaja dengan tidak menghiraukan pembicaraan mereka dan Siboru pareme yang sudah berbadan dua ( hamil ) itu diantarkanlah kehutan belantara yang disebut dengan ‘ NEGERI SABULAN “ sejauh tujuh hari tujuh malam lamanya dalam perjalanan dari desa Sianjurmulamula dengan maksud agar tidak dilihat orang dan agar Siboru Pareme pun tidak tau jalan pulang kembali karena aib yang menimpa keluarga mereka tidak diketahui.
          Hari demi hari dalam penantian kerinduan yang sangat mendalam, Si Biding Laut dalam kegelisahan menanti kepulangan kakandanya Sariburaja yang tak kunjung tiba, dengan rasa hati yang sedih dan pilu, akhirnya Si Biding Laut memutuskan untuk pergi mencari Sariburaja tampa tujuan yang pasti.
          Dengan kesaktian yang dimiliki Si Biding Laut yang dipelajarinya dari ayahandanya, maka daerah demi daerah dapat dilaluinya tampa ada hambatan apa – apa pun di dalam perjalanannya, dan pada suatu hari sampailah ia di pinggiran pantai Laut ( yang disebut daerah Sibolga saat ini ) namun tampa mendapatkan hasil, dimana gerangan Sariburaja bertempat tinggal.
          Si Biding Laut duduk termenung di bibir pantai sambil memandang ke ujung laut dan melihat sebuah pulau ( pulaui ini saat ini bernama Pulau Mursala/Marsahala di daerah Sibolga memiliki Pantai Lautan Hindia ) yang di kiranya tempat ini  tidak berpenghuni.
          Ternyata di pulau ini Si Biding Laut menjumpai orang – orang asing dengan memiliki wajah aneh – aneh, dan iapun memberanikan diri untuk bertanya kepada seseorang, manakala mereka mengetahui ada yang bernama Sariburaja didaerah ini, ternyata jawapan yang ia terimapun lain dari pada yang lain, sehingga si Biding Laut sangat marah, orang yang ditanyainya itupun sangat marah dan memberitahukan hal tersebut kepada rekan – rekannya di daerah tersebut, sehingga terjadilah perkelahian yang sangat dasyat, yang pada akhirnya Si Biding Laut kalah dan dibuang ke pinggiran Pantai laut Hindia, karena dikira Si Biding Laut telah meninggal dunia.
          Dengan ilmu kesaktian yang dimiliki Si Biding Laut, ternyata ia tidak meninggal dunia, ia hanya terombang ambing di lautan yang luas dan terbawa ombak ke bibir pantai pulau jawa Pengandaran Jawa barat, di daerah ini ternyata telah ada satu kerajaan yang memiliki Raja bernama “ SANSAKTI “.
          Karena kecantikan si Biding Laut yang tak tertandingkan di daerah itu, membuat hati raja Sansakti ingin membawanya kekerajaannya untuk dirawat. Karena ke cantikan si Biding Laut inilah membuat hati Raja Sansakti menjadikan si Biding Laut menjadi permaisuri kerajaan dan memberinya nama baru “ NYI RORO KIDUL “, walaupun para hulubalang kerajaan Sansakti tidak dapat menerima keputusan itu.
          Pada suatu saat terjadilah perselisihan sesama warga dengan para hulu balang kerajaan Sansakti karena keputusan raja Sansakti yang mempersunting si Biding Laut menjadi istrinya, membuat raja Sansakti sangat marah namun tidak dapat membendung perselisihan itu sehingga sang Raja Sansakti pada akhirnya meninggal dunia, sehingga pimpinan kerajaan jatulah kepada istrinya yang bernama si Biding Laut ( Nyi Roro Kidul ), walaupun para hulu balang kerajaan dan rakyatnya tidak dapat menerima hal itu, dengan perasaan hati yang sedih telah ditinggal suaminya raja Sansakti sehingga Nyi Roro Kidul pergi kepantai untuk menenangkan diri dan tidak pernah kembali lagi kekerajaan Sansakti sampai akhir hayatnya, pantai tersebut dinamai dengan Pelabuhan Ratu.
          Sehingga disebutlah namanya sampai saat ini “ Nyi Roro Kidul penghuni Ratu Pantai Selatan “ atau si  “ Biding Laut “.
( Erlin Hasibuan, dari berbagai sumber ).























Jumat, 11 Maret 2011

THE LAGEND OF BATAK LAND


THE LAGEND OF BATAK LAND atau LEGENDA DARI TANAH BATAK merupakan sebuah cerita legenda atau turi - turian yang akan saya ceritakan kembali untuk dikenang kembali pada jaman serba IT ini untuk dapat ditelusuri keberadaannya agar dapat menjadi perbandingan bagi generasi muda saat ini, Namun sebelumnya sedikit saya akan menceritakan latar belakang keberadaan saya sehingga berniat untuk menggali cerita - cerita dari tanah batak ini, dimana saat ini tidak ada lagi saya jumpai berupa tulisan - tulisan mengenai turi - turian dari tanah batak ini,  
       Sebelumnya saya sangat berterima kasih kepada orangtua saya yang telah membesarkan saya dan menyekolahkan saya walaupun hanya sampai D3 alias sarjana muda dengan gelar Smp alias juga sarjana muda pelayaran atau disebut juga dengan BA In Shipping.