KOMUNITAS MARGA
THE LAGEND OF BATAK LAND, SITOROP UTI UTIAN, SIGODANG BOTO BOTOAN. PARJAHA JAHA DI BIBIR , PARPUSTAHA DITOLONAN.
Entri Populer
-
LEGENDA BATU GANTUNG Lokasi Batu Gantung yang berada di tebing jalan menuju Kot...
-
SEJARAH TUNGGAL PANALUAN Tunggal Panaluan yang di peragakan pada saat pelaksanaan Pesta Danau Toba bulan Oktober tahun 2009 lalu di Par...
-
LEGENDA SIGALE GALE Patung Sigale gale yang diabadikan dengan penulis saat berkunjung ke daerah Tomok Kab.Samosir pada pelaksanaan Pest...
-
SIBORU DEAK PARUJAR Pada masyarakat suku batak, bahwa awal terbentuknya bumi ini memiliki cerita atau legenda yang perlu kita renungka...
-
SIRAJA LONTUNG DAN SIRAJA BORBOR Setelah beberapa tahun lamanya Sariburaja dan Siboru Pareme bersama dalam pembuangan di daerah ...
-
SABULAN Gunung Pusuk Buhit yang terletak di Kabupaten Samosir yang diyakini sebagai daerah asa...
-
LEGENDA POHON NIRA Pohon Nira ( Mayang Enau ) yang banyak tumbuh di daerah tanah batak, bukanlah merupakan tanaman atau tumbuhan yang tu...
-
LEGENDA DANAU TOBA Danau Toba yang sangat indah dan menawan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di wilayah Sumatera Utara kota ...
Sabtu, 15 Februari 2025
Selasa, 11 Februari 2025
SILSILA /TAROMBO MARGA RAJA HASIBUAN
MENGENAL SILSILAH MARGA RAJA HASIBUAN.
Marga sebagai identitas diri khususnya bagi masyarakat suku batak, merupakan salah satu identitas dalam membina kekompakan serta solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur, sehingga keutuhan marga - marga itu dalam kehidupan sistem " Dalihan Na Tolu " akan tetap abadi dan lestari sepanjang masa. Dimana fungsi marga itu adalah sebagai landasan pokok yang menganut ketertiban dalam masyarakat suku batak mengenai seluruh jenis hubungan seperti adat dalam pergaulan sehari-hari, dalam adat Dalihan Na Tolu dan sebagainya. Dalam silsilah masyarakat suku batak ( dalam struktur tarombo) bahwa si Raja Hasibuan adalah keturunan dari si Raja Sobu, si Raja Sobu yang hidup pada abad XV atau sekitar tahun 1455 adalah keturunan ke V dari si Raja Batak, ayahnya bernama Tuan Sorbadibanua yang memiliki dua orang istri yang pertama bernama Nai Anting Malela dan memiliki anak lima orang dan istrinya yang ke dua bernama si Baru Basopaet ( Putri Mojopahit) PUTRI Raja Majapahit adek kandung dari Raden Widjaya dan memiliki anak tiga orang.Si Raja Sobu memiliki dua orang anak putra yang bernama Raja Tinandang atau lebih dikenal dengan bernama Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan.
Di masa kecilnya, Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan tinggal bersama orang tuanya di Desa Lobu Galagala yang terletak di kaki Gunung Dolok Tolong ( Kabupaten Toba Samosir saat ini ) dan setelah beranjak dewasa si Raja Hasibuan pergi merantau ke Desa Sigaol - Uluan dan menetap disana yang pada akhirnya menjadi bonapasogit marga Hasibuan, dan iapun mangalap boruni rajai boru Simatupang dari Muara.
Si Raja Hasibuan memiliki lima anak (putra) dan lima boru (putri), anak pertama bernama Raja Marjalo dan tinggal di Sigaol - Uluan dan tetap memakai marga Hasibuan, namun setelah berumah tangga Raja Marjalo membuat atau membuka perkampungan baru yang bernama Hariaramarjalo di Lumban Bao Sigaol saat ini, Hariara (pohon Ara) marjalo (namanya) dan membuat pertanda dengan menanam pohon Hariara (Ara) yang sampai saat ini masih berdiri kokoh, dan disampingnya telah dibangun Monumen si Raja Hasibuan yang sudah diresmikan pada tahun 2002 lalu. Anak ke dua adalah bernama Guru Mangaloksa, pergi merantau ke daerah Silindung dan menetap disana di kampung Marsaitbosi dan menikah dengan marga boru (putri) Pasaribu. Keturunan Guru Mangaloksa telah memakai nama/marga baru yaitu Marga Hutagalung, Marga Hutabarat, Hutatoruan dan Marga Panggabean. Kemudian keturunan marga Hutatoruan menjadi marga Hutapea dan marga Lumbantobing, sementara keturunan marga Panggabean ada yang memakai marga Simorangkir dan keturunan dari Guru Mangaloksa ini dikemudian hari di kenal dengan sebuatan " SI OPAT PUSORAN ". Menurut cerita, bahwa sebahagian keturunan Guru Mangaloksa yang merantau ke Tapanuli Selatan Sipirok tetap memaki marga Hasibuan, begitu juga dengan marga Hasibuan dan marga Lumbantobing yang bermukin di Laguboti. Anak ketiga dari si Raja Hasibuan adalah Guru Hinobaan, pergi merantau ke Barus/Sibolga atau Asahan tetap memakai marga Hasibuan. Anak ke empat adalah bernama Guru Maniti dan ini dikabarkan pergi merantau ke daerah Aceh ( Nangro Aceh Darussalam saat ini) kemungkinan keturunan inilah yang mengaku batak sampulu pitu (17) ? yang bermukin di kabupaten Alas saat ini, dan hingga saat ini Parsadaan Pomparan ni Raja Hasibuan dimanapun berada masih menanti kembalinya keturunan anak yang hilang ini. Anak kelima adalah Guru Marjalang, pergi merantau ke Padang Bolak/Sibuhuon Tapanuli Selatan tetap memakai marga Hasibuan. Sedangkan ke lima boru (putri) si Raja Hasibuan adalah bernama si Boru Turasi marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Sitorus Pane di Lumban Lobu, si Boru Tumandi marhamulion/marhuta (kawin) ke marga Panjaitan di Sitorang, si Baru Taripar Laut marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Simanjuntak di Sitandohan Balige, si Boru Sande Balige ke marga Siahaan di Hinalang Balige dan si Boru Patar Nauli ke marga Siringoringo di Muara, dan ketika diadakan perayaan Monumen si Raja Hasibuan di Lumban Bao Hariaramarjalo tahun 2002 lalu semua perwakilan dari si Raja Hasibuan dan boru hadir bersama rombongan masing - masing, kecuali keturunan dari Guru Maniti yang tidak hadir. Hingga saat ini, hukum dan tatanan adat tidak memperbolehkan marga Hasibuan untuk menikah dengan keturunan Guru Mangaloksa, walaupun berlainan marga begitu juga sebaliknya, tetapi anehnya sesama keturunan Guru Mangaloksa yang berbeda marga boleh dijadikan suami atau istri. Paling anehnya lagi, marga Hasibuan disebut tidak memiliki Pogu (empedu) katanya: Hasibuan na so marpogu on ( Hasibuan yang tidak punya Empedu ini ), rupanya waktu mudanya si Raja Hasibuan sering " Lari Pagi " bersama kuda kesayangannya, sehingga para tetangga secara iseng memberi julukan " na songon hoda mi do ho dang olo loja "(rupanya kamu seperti kudamu, tidak mau letih),"katanya, atau apakah memang kuda tidak memiliki Empedu ? atau barang kali si Raja Hasibuan dulunya adalah pekerja keras sehingga para adeknya semua berhasil mendapat gelar GURU. Sejarah adalah suatu kisah masa lalu yang kemungkinan besar sulit diyakini dan dipercaya, bahwa sesuatu yang diceritakan itu benar adanya, namun alanhgkah baiknya kita sebagai generasi penerus sejarah meyakini dengan harapan dapat meluruskan suatu sejarah itu untuk sama - sama memahami demi kemajuan bersama, agar generasi yang akan datang sebagai generasi penerus dengan nilai positif untuk mengetahui asal usul leluhur marga, misalnya marga Hasibuan. By; Erlin Hasibuan/Dari berbagai sumber.
Di masa kecilnya, Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan tinggal bersama orang tuanya di Desa Lobu Galagala yang terletak di kaki Gunung Dolok Tolong ( Kabupaten Toba Samosir saat ini ) dan setelah beranjak dewasa si Raja Hasibuan pergi merantau ke Desa Sigaol - Uluan dan menetap disana yang pada akhirnya menjadi bonapasogit marga Hasibuan, dan iapun mangalap boruni rajai boru Simatupang dari Muara.
Si Raja Hasibuan memiliki lima anak (putra) dan lima boru (putri), anak pertama bernama Raja Marjalo dan tinggal di Sigaol - Uluan dan tetap memakai marga Hasibuan, namun setelah berumah tangga Raja Marjalo membuat atau membuka perkampungan baru yang bernama Hariaramarjalo di Lumban Bao Sigaol saat ini, Hariara (pohon Ara) marjalo (namanya) dan membuat pertanda dengan menanam pohon Hariara (Ara) yang sampai saat ini masih berdiri kokoh, dan disampingnya telah dibangun Monumen si Raja Hasibuan yang sudah diresmikan pada tahun 2002 lalu. Anak ke dua adalah bernama Guru Mangaloksa, pergi merantau ke daerah Silindung dan menetap disana di kampung Marsaitbosi dan menikah dengan marga boru (putri) Pasaribu. Keturunan Guru Mangaloksa telah memakai nama/marga baru yaitu Marga Hutagalung, Marga Hutabarat, Hutatoruan dan Marga Panggabean. Kemudian keturunan marga Hutatoruan menjadi marga Hutapea dan marga Lumbantobing, sementara keturunan marga Panggabean ada yang memakai marga Simorangkir dan keturunan dari Guru Mangaloksa ini dikemudian hari di kenal dengan sebuatan " SI OPAT PUSORAN ". Menurut cerita, bahwa sebahagian keturunan Guru Mangaloksa yang merantau ke Tapanuli Selatan Sipirok tetap memaki marga Hasibuan, begitu juga dengan marga Hasibuan dan marga Lumbantobing yang bermukin di Laguboti. Anak ketiga dari si Raja Hasibuan adalah Guru Hinobaan, pergi merantau ke Barus/Sibolga atau Asahan tetap memakai marga Hasibuan. Anak ke empat adalah bernama Guru Maniti dan ini dikabarkan pergi merantau ke daerah Aceh ( Nangro Aceh Darussalam saat ini) kemungkinan keturunan inilah yang mengaku batak sampulu pitu (17) ? yang bermukin di kabupaten Alas saat ini, dan hingga saat ini Parsadaan Pomparan ni Raja Hasibuan dimanapun berada masih menanti kembalinya keturunan anak yang hilang ini. Anak kelima adalah Guru Marjalang, pergi merantau ke Padang Bolak/Sibuhuon Tapanuli Selatan tetap memakai marga Hasibuan. Sedangkan ke lima boru (putri) si Raja Hasibuan adalah bernama si Boru Turasi marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Sitorus Pane di Lumban Lobu, si Boru Tumandi marhamulion/marhuta (kawin) ke marga Panjaitan di Sitorang, si Baru Taripar Laut marhamulion/marhuta (kawin) dengan marga Simanjuntak di Sitandohan Balige, si Boru Sande Balige ke marga Siahaan di Hinalang Balige dan si Boru Patar Nauli ke marga Siringoringo di Muara, dan ketika diadakan perayaan Monumen si Raja Hasibuan di Lumban Bao Hariaramarjalo tahun 2002 lalu semua perwakilan dari si Raja Hasibuan dan boru hadir bersama rombongan masing - masing, kecuali keturunan dari Guru Maniti yang tidak hadir. Hingga saat ini, hukum dan tatanan adat tidak memperbolehkan marga Hasibuan untuk menikah dengan keturunan Guru Mangaloksa, walaupun berlainan marga begitu juga sebaliknya, tetapi anehnya sesama keturunan Guru Mangaloksa yang berbeda marga boleh dijadikan suami atau istri. Paling anehnya lagi, marga Hasibuan disebut tidak memiliki Pogu (empedu) katanya: Hasibuan na so marpogu on ( Hasibuan yang tidak punya Empedu ini ), rupanya waktu mudanya si Raja Hasibuan sering " Lari Pagi " bersama kuda kesayangannya, sehingga para tetangga secara iseng memberi julukan " na songon hoda mi do ho dang olo loja "(rupanya kamu seperti kudamu, tidak mau letih),"katanya, atau apakah memang kuda tidak memiliki Empedu ? atau barang kali si Raja Hasibuan dulunya adalah pekerja keras sehingga para adeknya semua berhasil mendapat gelar GURU. Sejarah adalah suatu kisah masa lalu yang kemungkinan besar sulit diyakini dan dipercaya, bahwa sesuatu yang diceritakan itu benar adanya, namun alanhgkah baiknya kita sebagai generasi penerus sejarah meyakini dengan harapan dapat meluruskan suatu sejarah itu untuk sama - sama memahami demi kemajuan bersama, agar generasi yang akan datang sebagai generasi penerus dengan nilai positif untuk mengetahui asal usul leluhur marga, misalnya marga Hasibuan. By; Erlin Hasibuan/Dari berbagai sumber.
Minggu, 09 Februari 2025
Kamis, 21 Juli 2011
LEGENDA POHON NIRA
LEGENDA POHON NIRA
Pohon Nira ( Mayang Enau ) yang banyak tumbuh di daerah tanah batak, bukanlah merupakan tanaman atau tumbuhan yang tumbuh begitu saja di berbagai tempat namun menurut sejarah atau legenda manang turi – turian , bahwa pohon nira ( mayang enau )atau di tanah batak disebut dengan nama “ Pakko”/Bagot” adalah memiliki cerita tentang perjodohan bagi masyarakat suku batak pada jaman dahulu kala yang tidak mengenal satu sama lain antara muda – mudi yang akan di pertunangkan.
Pohon Nira / Mayang Enau atau “ Pakko/Bagot “ ini dapat menghasilkan yang namanya “ Nira “( tuak )hasil sadapan, ijuk untuk atap rumah, tali dan lain – lain, Sagu bagian empuk/lunak dari dalam batangnya, lidi dari daunya, batangnya dibuat menjadi penyangga rumah adat batak disebut dengan “ Rassang – rassang “, dan memang begitu banyak mamfaat dan kegunaan dari pohon ini.
Menurut legenda atau sejarah turi – turian dalam masyarakat suku batak bahwa awal mula tumbuhnya mayang enau/pakko/bagot ini adalah sebagai berikut.
Pada jaman dahulu kala bagi masyarakat suku batak dalam pembentukan mahligai rumah tangga yang baru, masih didominasi dengan istilah perjodohan atau dijodohkan antara silaki – laki dengan si perempuan oleh kedua orangtua belah pihak atau oleh keluarga lainnya, apalagi masih memiliki tali persaudaraan atau kelompok keluarga.
Demikian juga halnya yang terjadi dalam keluarga Siraja Enda-enda dengan tunangannya Siboru Sobarjadi, Siraja Enda – enda adalah manusia yang tidak sempurna artinya ia menyerupai binatang “ Kadal “ (Ilik dalam suku batak )memiliki kaki empat badan besar dan matanya besar dan tinggal di bumi atau benua tonga, sedangkan calon istrinya yang bernama Siboru Sobarjadi adalah seorang putri kerajaan kayangan yang tinggal di awang – awang atau banua ginjang.
Setelah Siboru Sobarjadi sudah dewasa maka ia memohon kepada ayahandanya bernama “ Batara Guru” agar dapat diberangkatkan ia untuk menjumpai tunangannya Siraja Enda – enda ke bumi ( banua tonga ), maka disuruhnyalah abangnya ( ibotona )yang bernama “ Datu Tantan Debata “ untuk mengantarkan Siboru Sobarjadi untuk menjumpai Siraja Enda-enda di bumi.
Maka berangkalah Siboru Sobarjadi menuju rumah Siraja Enda-enda di bumi, sebelum memasuki rumah ia pun memanggil – manggil dengan mengatakan, “ Leang –leang mandi tambolungkon au jolo, baoa pangoli tailihon ma ahu jolo.”ujarnya dari luar rumah (yang artinya : Anak laki – laki calon pengantin, saya sudah datang, tolonglah lihat saya ).Ternyata Siraja Enda-enda telah mendengar suara teriakan itu dan iapun menjawabnya dari dalam rumah dengan mengatakan,” Jang ma jajangi, jang ma jajangon, padoras ma sian I, pajonok ma tu lambungkon “sambutnya dari dalam rumah (yang artinya : menyuruh Siboru Sobarjadi agar secepatnya masuk ke rumah ).Namun Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumahnya karena memiliki tangga menuju kerumahnya sangat tajam seperti pisau tajam.
Karena Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda iapun mengadukan hal ini kepada abangnya yang bernama “ Tantan Debata “ dan ia memohon agar abangnya dapat memberikan pertahanan/kekebalan agar ia bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda. Sehingga ia pun bisa memasuki rumahnya.
Setelah Siboru Sobarjadi tiba di dalam rumah Siraja Enda-enda, alangkah terkejutnya ia melihat Siraja Enda-enda karena ternyata Siraja Enda-enda bukanlah manusia sempurna, ia adalah julukan manusia ilik (kadal )/Siraja Ilik yang berkaki empat, matanya besar memiliki ekor, sehingga Siboru Sobarjadi mengurungkan niatnya untuk memiliki Siraja Enda-enda/Siraja Ilik menjadi suaminya, dan iapun berkata demikian “ tumagonanna ma ahu mate unang mangolu, ianggo tung muli tu Siraja Enda-enda,” ujarnya ( yang artinya : lebih baiklah saya mati dari pada menikah dengan Siraja Enda-enda).
Akhirnya Siboru Sobarjadi pun memberitahukan hal ini kepada abangnya (ibotona ) dan ia pun memohon agar dilaksanakan gondang sabangunan ( membunyikan Uning uningan ) untuk melampiaskan rasa kekesalannya, maka dilaksanakanlah gondang sabangunan tersebut dan Siboru Sobarjadi pun menari narilah sejadi jadinya seperti orang kesurupan, terlempar kesana – kemari, sehingga tampa disadari melompatlah Siboru Sobarjadi ketengah tengah halam rumah dan iapun tenggelam dan tertanam kedalam tanah.
Dan pada sore harinya telah tumbuh pohon di tengah – tengah perkampungan itu, tulang – tulangnya menjadi batangnya (pakkona), perutnya menjadi unokna (bagian lunak di dalam batangnya, bahan untuk membuat sagu), kain atau bajunya menjadi bangkarna (bagian kulit luar dari batangnya), rambutnya menjadi ijuk, tangannya menjadi hodongnya (dahannya), jari-jari tangannya menjadi lidinya (lili), air matanya menjadi tuak ni bagot ( nira ), dan pohon inilah yang dinamai “Pakko”/bagot/mayang enau (pohon nira ) yang menghasilkan nira (tuak ) saat ini.
Tuak adalah nira yang beragi dan sejenis minuman keras sebagai minuman khas suku batak, nira (tuak) disadap dari mayang enau/pakko/bagot kemudian nira ini dicampur dengan ragi atau kulit kayu yang dinamai “Raru”, sehingga menjadi nira / tuak yang mengandung alkohol, dalam suku batak disebut dengan “ Tuak Tangkasan “dan dalam peribahasa/pantun suku batak mengatakan :”
Tangkas ma uju purba,
Tangkasan ma uju angkola.
Tangkas ma namaduma,
Tangkasan ma na mamora…….
E M M A T U T U……............
(dari berbagai sumber/ by : Erlin Hasibuan,partorubulu).
Pohon Nira ( Mayang Enau ) yang banyak tumbuh di daerah tanah batak, bukanlah merupakan tanaman atau tumbuhan yang tumbuh begitu saja di berbagai tempat namun menurut sejarah atau legenda manang turi – turian , bahwa pohon nira ( mayang enau )atau di tanah batak disebut dengan nama “ Pakko”/Bagot” adalah memiliki cerita tentang perjodohan bagi masyarakat suku batak pada jaman dahulu kala yang tidak mengenal satu sama lain antara muda – mudi yang akan di pertunangkan.
Pohon Nira / Mayang Enau atau “ Pakko/Bagot “ ini dapat menghasilkan yang namanya “ Nira “( tuak )hasil sadapan, ijuk untuk atap rumah, tali dan lain – lain, Sagu bagian empuk/lunak dari dalam batangnya, lidi dari daunya, batangnya dibuat menjadi penyangga rumah adat batak disebut dengan “ Rassang – rassang “, dan memang begitu banyak mamfaat dan kegunaan dari pohon ini.
Menurut legenda atau sejarah turi – turian dalam masyarakat suku batak bahwa awal mula tumbuhnya mayang enau/pakko/bagot ini adalah sebagai berikut.
Pada jaman dahulu kala bagi masyarakat suku batak dalam pembentukan mahligai rumah tangga yang baru, masih didominasi dengan istilah perjodohan atau dijodohkan antara silaki – laki dengan si perempuan oleh kedua orangtua belah pihak atau oleh keluarga lainnya, apalagi masih memiliki tali persaudaraan atau kelompok keluarga.
Demikian juga halnya yang terjadi dalam keluarga Siraja Enda-enda dengan tunangannya Siboru Sobarjadi, Siraja Enda – enda adalah manusia yang tidak sempurna artinya ia menyerupai binatang “ Kadal “ (Ilik dalam suku batak )memiliki kaki empat badan besar dan matanya besar dan tinggal di bumi atau benua tonga, sedangkan calon istrinya yang bernama Siboru Sobarjadi adalah seorang putri kerajaan kayangan yang tinggal di awang – awang atau banua ginjang.
Setelah Siboru Sobarjadi sudah dewasa maka ia memohon kepada ayahandanya bernama “ Batara Guru” agar dapat diberangkatkan ia untuk menjumpai tunangannya Siraja Enda – enda ke bumi ( banua tonga ), maka disuruhnyalah abangnya ( ibotona )yang bernama “ Datu Tantan Debata “ untuk mengantarkan Siboru Sobarjadi untuk menjumpai Siraja Enda-enda di bumi.
Maka berangkalah Siboru Sobarjadi menuju rumah Siraja Enda-enda di bumi, sebelum memasuki rumah ia pun memanggil – manggil dengan mengatakan, “ Leang –leang mandi tambolungkon au jolo, baoa pangoli tailihon ma ahu jolo.”ujarnya dari luar rumah (yang artinya : Anak laki – laki calon pengantin, saya sudah datang, tolonglah lihat saya ).Ternyata Siraja Enda-enda telah mendengar suara teriakan itu dan iapun menjawabnya dari dalam rumah dengan mengatakan,” Jang ma jajangi, jang ma jajangon, padoras ma sian I, pajonok ma tu lambungkon “sambutnya dari dalam rumah (yang artinya : menyuruh Siboru Sobarjadi agar secepatnya masuk ke rumah ).Namun Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumahnya karena memiliki tangga menuju kerumahnya sangat tajam seperti pisau tajam.
Karena Siboru Sobarjadi tidak bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda iapun mengadukan hal ini kepada abangnya yang bernama “ Tantan Debata “ dan ia memohon agar abangnya dapat memberikan pertahanan/kekebalan agar ia bisa memasuki rumah Siraja Enda-enda. Sehingga ia pun bisa memasuki rumahnya.
Setelah Siboru Sobarjadi tiba di dalam rumah Siraja Enda-enda, alangkah terkejutnya ia melihat Siraja Enda-enda karena ternyata Siraja Enda-enda bukanlah manusia sempurna, ia adalah julukan manusia ilik (kadal )/Siraja Ilik yang berkaki empat, matanya besar memiliki ekor, sehingga Siboru Sobarjadi mengurungkan niatnya untuk memiliki Siraja Enda-enda/Siraja Ilik menjadi suaminya, dan iapun berkata demikian “ tumagonanna ma ahu mate unang mangolu, ianggo tung muli tu Siraja Enda-enda,” ujarnya ( yang artinya : lebih baiklah saya mati dari pada menikah dengan Siraja Enda-enda).
Akhirnya Siboru Sobarjadi pun memberitahukan hal ini kepada abangnya (ibotona ) dan ia pun memohon agar dilaksanakan gondang sabangunan ( membunyikan Uning uningan ) untuk melampiaskan rasa kekesalannya, maka dilaksanakanlah gondang sabangunan tersebut dan Siboru Sobarjadi pun menari narilah sejadi jadinya seperti orang kesurupan, terlempar kesana – kemari, sehingga tampa disadari melompatlah Siboru Sobarjadi ketengah tengah halam rumah dan iapun tenggelam dan tertanam kedalam tanah.
Dan pada sore harinya telah tumbuh pohon di tengah – tengah perkampungan itu, tulang – tulangnya menjadi batangnya (pakkona), perutnya menjadi unokna (bagian lunak di dalam batangnya, bahan untuk membuat sagu), kain atau bajunya menjadi bangkarna (bagian kulit luar dari batangnya), rambutnya menjadi ijuk, tangannya menjadi hodongnya (dahannya), jari-jari tangannya menjadi lidinya (lili), air matanya menjadi tuak ni bagot ( nira ), dan pohon inilah yang dinamai “Pakko”/bagot/mayang enau (pohon nira ) yang menghasilkan nira (tuak ) saat ini.
Tuak adalah nira yang beragi dan sejenis minuman keras sebagai minuman khas suku batak, nira (tuak) disadap dari mayang enau/pakko/bagot kemudian nira ini dicampur dengan ragi atau kulit kayu yang dinamai “Raru”, sehingga menjadi nira / tuak yang mengandung alkohol, dalam suku batak disebut dengan “ Tuak Tangkasan “dan dalam peribahasa/pantun suku batak mengatakan :”
Tangkas ma uju purba,
Tangkasan ma uju angkola.
Tangkas ma namaduma,
Tangkasan ma na mamora…….
E M M A T U T U……............
(dari berbagai sumber/ by : Erlin Hasibuan,partorubulu).
Langganan:
Postingan (Atom)